Sudah Hilang Akal, Militer Myanmar Tembak 100 Rakyat Sipil Termasuk Anak-anak

MAYANMAR – Situasi di Myanmar makin tak terkendali. Warga sipil kini terus menjadi korban. Lebih dari 100 orang tewas oleh pasukan keamanan pada Sabtu (27/3) termasuk anak-anak.

Beberapa terbunuh saat unjuk rasa, yang lain tewas di rumah mereka sendiri. Para penentang kudeta militer menyebut warga yang tewas dengan istilah ‘bintang jatuh’. Di antara mereka yang tewas adalah Aye Ko yang berusia 40 tahun.

Ayah empat anak ini tinggal di Kota Mandalay. Dia biasa menjual jajanan kelapa dan minuman jeli beras, dan menjadi anggota penjaga lingkungan. Beberapa laporan mengatakan dia ditembak dan terluka ketika tentara menggerebek daerah itu. Mereka kemudian menyeretnya ke tumpukan ban mobil yang terbakar, yang dibuat oleh pengunjuk rasa sebagai barikade.

“Dia berteriak, ‘tolong saya, Ibu’,” kata seorang penduduk setempat kepada situs berita Myanmar Now.

Keluarganya mengadakan kebaktian pada Minggu untuk memperingati arwahnya. Seorang kerabat menggambarkan kematiannya sebagai kehilangan besar karena dia merupakan tulang punggung keluarga.

“Dia satu-satunya yang memberi makan keluarganya,” kata kerabat itu kepada AFP.

Di tempat lain di Mandalay, orang-orang berduka atas meninggalnya Aung Zin Phyo yang berusia 18 tahun. Dia adalah penjaga gawang Lin Latt Futsal Club dan secara sukarela membantu di pusat perawatan intensif selama pandemi virus Korona, menurut kantor berita Reuters. Keluarganya mengatakan kepada wartawan bahwa dia berada di garis depan pengunjuk rasa ketika dia ditembak mati oleh pasukan keamanan.

“Aku hanya punya anakku dalam hidupku. Biarkan aku mati agar aku bisa bersama dengan anakku,” kata ibunya sambil menangis di samping peti matinya.

Beberapa anak termasuk di antara mereka yang tewas. Aye Myat Thu yang berusia 11 tahun dibaringkan di peti mati bersama mainan, bunga, dan gambar Hello Kitty. Media lokal mengatakan dia ditembak mati selama tindakan keras terhadap pengunjuk rasa di Kota Mawlamyine di tenggara.

Di pusat Kota Meiktila, ibu Pan Ei Phyu yang berusia 14 tahun mengatakan kepada BBC Burma bahwa dia bergegas menutup semua pintu ketika dia mendengar militer turun ke jalan. Sayangnya dia terlambat.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan