Upaya pemerintah ini tentunya harus diapresiasi dengan baik. Artinya kesempatan ini harus dimanfaatkan secara serius. Hal hasil bisa dirasakan oleh semua masyarakat, kita tidak lagi dipusingkan dengan biaya yang penting mau. Termasuk ”si pulan” keluarga petani miskin. Si pulan anak yang paling besar dari dua bersaudara ini menyelesaikan pendidikan SMA dengan predikat siswa teladan di sebuah sekolah, yang lebih menggembirakan ia mendapat beasiswa diterima di sebuah perguruan tinggi negeri. Tentu pihak sekolah ikut gembira, terlebih keluarga si pulan. Obrolan pun semakin hangat, seorang anak petani miskin diterima di sebuah perguruan tinggi negeri.
Perjalanan pun terus berputar. Si pulan, sang mahasiswa ini mengikuti perkuliahan sebagai mana umumnya mahasiswa. Ia bersemangat ingin membuktikan kepada ”dunia” bahwa keluarga petani miskin bisa kuliah dan akan menyandang gelar sarjana. Gelar yang tentunya bagi masyarakat kita masih dijadikan tolak ukur keberhasilan pendidikan. Maka tidak berlebihan jika ia bersemangat belajar.
Sebagaimana kita mahfum kuliah ini tidak hanya memerlukan semangat belajar, akan tetapi pengorbanan lainnya, terutama finansial. Di saat ia semangat belajar menggelora, ternyata tidak diikuti oleh kemampuan biaya hidup. Bayangkan betapa besarnya kebutuhan seorang mahasiswa di tempat kos! Buku-buku sumber, foto kopi, alat tulis, makan, dan biaya lainnya.
Suatu ketika ia memutuskan untuk pulang kampung dengan harapan orang tuanya bisa memberikan biaya hidupnya yang sudah habis. Apa daya, orang tuanya sebagai petani penggarap sawah orang lain tidak bisa mengabulkan permintaannya. Berbagai macam cara dilakukan, hal hasil nihil yang diperoleh. Sayang tentunya. Betapa tidak, seorang anak jenius harus kandas karena biaya. Anak ini pun tidak bisa kembali ke kampus untuk belajar sebagaimana mestinya ia belajar sebagai mahasiswa.
Hari-hari berlalu. Keinginan untuk menjadi sarjana sudah di depan mata, bayangan sebagai sarjana sebuah perguruan tinggi negeri di sandangnya, seluruh pandangan mata tertuju kepada dia. Ya, seorang anak petani miskin menjadi sarjana! Ia pun tersenyum simpul dan berteriak ”Aku sarjana! Aku sarjana! Aku sarjana!”