MILITER Myanmar telah merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah pada 1 Februari 2021. Aktor di balik kudeta militer tersebut adalah panglima tertinggi Angkatan Bersenjata atau Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing. Jenderal Min Aung Hlaing (64 tahun) memerintahkan penangkapan dan penahanan sejumlah negawaran sipil, seperti Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan tokoh senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) lainnya, serta mengumumkan keadaan darurat selama setahun.
Penangkapan terjadi sekitar pukul 02.30 waktu setempat dan segera setelahnya media sosial facebook mulai dipenuhi berbagai informasi dan perkembangan terkait penangkapan tersebut. Beberapa anggota parlemen bahkan melakukan live-streaming penangkapan mereka sesaat sebelum jalur komunikasi telepon dan internet terputus di Nay Pyi Taw, menyusul Yangon pada pukul 07.30.
Bagi Suu Kyi, penahanan ini bagai deja vu mengingat ia pernah menjadi tahanan rumah selama 15 tahun dari 21 tahun masa penahanannya sejak pemilu 1990. Kala itu junta militer tak terima kekalahannya dari Suu Kyi yang menang pemilu, lantas menahannya.
Kudeta 2021 diyakini juga akibat Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menang telak pada pemilu bulan November 2020 dengan meraup 346 kursi di parlemen dari total 491 kursi yang tersisa untuk anggota parlemen terpiliih, mengalahkan Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer Myanmar.
Militer melalui Jenderal Min Aung Hlaing tak terima dengan hasil pemilu, dalam pidatonya pada 27 Januari, memperingatkan bahwa “konstitusi akan dihapuskan, jika tidak diikuti.” Pernyataannya ini kemudian dimaknai sebagai ancaman kudeta mengacu pada kudeta militer pada 1962 dan 1988. Selanjutnya, Min Aung Hlaing mengatakan, alasan kudeta adalah karena pemerintah dinilai gagal merespons tuduhan militer atas kecurangan dalam pemilu November 2020 dan kegagalan menunda pemilihan di tengah krisis pandemi COVID-19. Meskipun Komisi Pemilihan Umum Myanmar (UEC) mengatakan tidak ada temuan kecurangan dari hasil pemilu November.
Dengan adanya kudeta tersebut, maka Myanmar yang baru saja beralih ke demokrasi, akan kembali kepada sistem pemerintahan militer di bawah kepemimpinan Min Aung Hlaing, yang nampaknya akan memperpanjang kekuasaannya tidak satu tahun seperti yang dijanjikannya.