JAKARTA – Kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok resmi naik per 1 Februari 2021. Meskipun kenaikannya 12,5 persen, namun masing-masing kelompok atau golongan kenaikannya berbeda-beda.
“Jadi harga bandrolnya ini akan mengalami penyesuaian sesuai dengan kenaikan tarif dari masing-masing kelompok yang memang berbeda-beda meskipun secara umum total kenaikannya 12,5 persen,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, dikutip dari Youtube DPR, kemarin (31/1).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebutkan, Srigaret Keretek Mesin (SKM) 2B dan Sigaret Putih Mesin (SPM) 2B kenaikan tarifnya lebih tinggi daripada SKM 2 A dan SPM 2A.
Hal itu, kata Sri Mulyani, ditujukan untuk mempersempit gap tarif atau sebagai sinyal simplifikasi. Sedangkan, untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) ditetapkan tarif cukainya tidak mengalami kenaikan,
Secara terpisah, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpandangan, kenaikan cukai rokok merupakan untuk pengendalian ketimbang penerimaan negara.
“Tergantung preferensi pemerintah. Jika tujuan utamanya adalah ingin mengurangi perokok, maka sangat tepat,” kata Fajry.
Menurut Fajry, sejauh ini pemerintah terbilang konsisten dengan kenaikan target penerimaan di tahun 2021 yang sedikit, yakni di kisaran 3,7 persen.
Di sisi lain, ia mengapresiasi pemerintah yang tidak menaikkan CHT untuk industri sigaret kretek tangan. “Ini bukti bahwa pemerintah serius memperhatikan tenaga kerja sektor Industri Hasil Tembakau (IHT),” ucapnya.
Sementara itu, ekonom senior INDEF Enny Sri Hartati menilai, kenaikan tarif cukai tidak mampu mewujudkan empat pilar yang ditargetkan pemerintah. Ia menjelaskan, kenaikan cukai rokok dalam kondisi normal saja akan mengurangi daya beli, apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19.
Kemudian, keterjangkauan masyarakat terhadap harga rokok, di mana Indonesia menempati urutan ke-3 di Asia dan 12 di Asean. Soal ini harus menjadi pertimbangan pemerintah, bukan justru diabaikan.
“Disimpulkan, harga rokok tidak bisa dikatakan murah, dan tingkat keterjangkauan masyarakat cukup jauh atau tidak mudah. Sehingga mereka akan mencari substitusinya yang larinya ke rokok ilegal,” kata Enny.
Nah, lanjut Enny, apakah kenaikan CHT ini mampu menekan prevalensi orang merokok atau tidak. Menurut dia, apabila dikorelasikan dengan data beberapa tahun yang lalu tidak ada kesimbambungan.