JAKARTA – Pergantian kepemimpinan di tubuh Polri semakin dekat. Calon tunggal Kapolri pengganti Kapolri Idham Azis yang akan pensiun, Komjen Listyo Sigit, telah digadang-gadang akan jadi Kapolri selanjutnya. Iapun telah dijadwalkan untuk menjalani serangkaian fit and proper test dalam minggu ini.
Menanggapi dinamika Polri saat ini, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu menyampaikan sejumlah catatan tajam lembaganya mengenai pekerjaan yang mesti dituntaskan Kapolri yang baru. Catatan ini disampaikan Edwin Partogi menyusul diusulkannya nama Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke DPR RI, dilansir dari jpnn.
Edwin mengawali catatan lembaganya dengan menyinggung mekanisme penegakan hukum seperti apa yang akan diterapkan Kapolri baru menyikapi kasus penyiksaan yang dilakukan oknum anggota Polri.
Sebab, menurut catatan LPSK pada 2020, terdapat 13 permohonan perlindungan perkara penyiksaan, sedangkan di 2019 lebih tinggi dengan 24 permohonan. “Artinya, terjadinya penurunan sebesar 54 persen perkara penyiksaan pada 2020 dibanding 2019. Namun bila merujuk jumlah terlindung, pada 2020 terdapat 37 terlindung LPSK dari peristiwa penyiksaan,” kata Edwin.
Pria yang juga mantan kadiv investigasi di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini menyatakan kejadian terakhir yang menarik perhatian dikenal dengan peristiwa KM 50 yang menewaskan enam Laskar FPI.
“Rekomendasi Komnas HAM meminta agar peristiwa itu diproses dalam mekanisme peradilan umum pidana. Sebaiknya Kapolri mencontoh KSAD yang dengan tegas memproses hukum oknum TNI di Peristiwa Intan Jaya,” tegas Edwin Partogi.
Kedua, LSPK menyinggung bagaimana Kapolri menyikapi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang terus meningkat beberapa tahun terakhir. Kebebasan berekspresi media sosial, meskipun telah dibatasi dengan UU ITE, tetap tak terbendung. Sebagai contoh, Polda Metro Jaya di 2020 telah menangani 443 kasus hoaks dan ujaran kebencian. Sebanyak 1.448 akun media sosial telah di-take down, sedangkan 14 kasus dilakukan penyidikan hingga tuntas.
“Yang sering muncul menjadi pertanyaan publik atas perkara ini ialah sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya,” ucap dia, mempertanyakan.