”Tidak ada SMA lain yang lulusan terbaiknya sampai 300 orang. Semua diterima di ITB, UGM, UI, Unair, ITS, dan universitas besar lainnya,” ujar Kiai Asep. Di podcast Anda akan tahu bagaimana caranya.
Jadi guru apa pun Kiai Asep pernah. Termasuk jadi guru olahraga. Ilmu ukur. Aljabar.
Maka, inilah kiai besar dengan pikiran yang besar, yang latar belakang pendidikan formalnya bukan sekolah agama: SDN di Cirebon, SMPN Sidoarjo, SMAN Sidoarjo, IKIP Surabaya jurusan bahasa Inggris (untuk sarjana muda), dan IKIP Malang jurusan bahasa Inggris untuk S-1.
Ups… Ia pernah di IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel, Surabaya. Jurusan bahasa Arab. Sampai sarjana muda.
Setiap kali mau kuliah, Asep selalu terbentur ijazah. ”Waktu masuk IAIN, saya bikin ijazah sendiri. Saya kan pengasuh aliyah di Buduran, Sidoarjo,” ujarnya. Di ijazah itu semua mata pelajaran ia beri nilai 9. Waktu tes masuk, nilainya tertinggi.
Demikian juga waktu mau masuk IKIP. Sebagai mahasiswa baru semester pertama –setelah ia menamatkan sarjana muda di IAIN– ijazahnya tadi tidak laku. Tapi, saat tes bahasa Inggris, ia nomor satu.
Kini Kiai Asep punya ”dendam” itu tadi: Pacet menjadi pusat pendidikan dunia untuk negara-negara Islam.
Usianya belum 60 tahun. Masih banyak waktu, insyaallah, untuk mencapainya. Anaknya 9 orang, 3 di antaranya dokter. Istrinya tetap satu. ”Kalau tidak dengan istri saya sekarang ini, mungkin saya tidak bisa begini,” ujarnya.
Sebenarnya Asep ingin beristri orang Jatim. Tapi selalu tidak jodoh. Setiap kali habis lamaran, ada kabar buruk: ditolak.
Tiga kali berulang seperti itu.
Akhirnya Kiai Asep berdoa dengan sungguh-sungguh. Isinya: mohon diberi istri yang dari keluarga miskin saja, yang tidak berpendidikan tinggi saja, bukan keturunan orang ternama saja, dan tidak usah keturunan orang yang punya jabatan apa-apa.
Doa itu terkabul. Istrinya itu, wanita Indramayu, dari keluarga miskin dan hanya berpendidikan kelas II SMP.
Tapi terbukti barokah.(Dahlan Iskan)