SESAMA mantan sesuatu, yang saya masih sering bertemu adalah Pak Nuh.
Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh DEA.
Itu karena beliau adalah orang Surabaya. Juga karena beliau aktivis agama. Aktivis kampus pula. Dan sejak tahun lalu beliau kami daulat untuk menjadi ketua Dewan Pers –lembaga tertinggi di bidang persuratkabaran. Termasuk di dalamnya: surat kabar elektronik.
Saya tahu rumah asli Pak Nuh di kampung Gunung Anyar. Dulu kampung itu di luar kota Surabaya. Sekarang pun masih di luar kota tapi sudah agak masuk ke dalam.
Saya tahu Gunung Anyar. Saya pernah membeli tanah kaplingan secara nyicil di situ. Dari gaji sebagai wartawan junior di majalah Tempo. Cicilan itu saya percepat dengan hidup lebih berhemat. Istri saya adalah wanita yang sangat menerima diajak hidup sederhana.
Periode setelah itu adalah tahun-tahun yang amat sibuk. Saya tidak mikir apa pun kecuali memajukan perusahaan yang saya pimpin.
Dan tanah kapling di Gunung Anyar itu pun terlupakan. Hilang sampai sekarang. Juga karena tidak pernah kami cari.
Saya suka melupakan apa pun yang hilang. Biar pun itu saham.
Saya tahu Gunung Anyar. Tapi tidak pernah ke Gunung Anyar. Waktu membeli kapling itu saya percaya saja pada gambar yang digaris-garis hitam itu.
Baru ketika bertemu Pak Nuh kemarin saya tahu bahwa di Gunung Anyar itu ternyata ada gunungnya. Dan gunung itu benar-benar anyar (baru). Yang terbentuk dari munculnya lumpur secara tiba-tiba. Dalam jumlah banyak. Mirip yang terjadi di Lapindo, sekitar 20 kilometer di selatan Gunung Anyar.
Gunung di Gunung Anyar itu memang tidak kelihatan gunung. Gunung anyar itu tingginya tidak melebihi rumah dua lantai. Tapi karena di situ dulunya persawahan maka gundukan tanah itu sudah disebut gunung.
Pak Nuh lahir di dekat gunung anyar itu. Waktu Pak Nuh masih kecil ternyata juga banyak sumur angguk di Gunung Anyar. Juga di sepanjang jalan menuju Wonokromo. Berarti dulunya banyak ladang minyak di situ. Yang kemudian disuling di Wonokromo.