Kurnia mengaku pernah mengalami kekerasan fisik oleh kelompoknya karena berani belajar dari orang yang lebih moderat itu.
“Pada tahun 2013-2014, saya ingin mengurus pembebasan bersyarat untuk bisa meringankan hukuman, tapi pada saat itu keluar fatwa dari kelompok saya, yang mengatakan kalau mengambil kebebasan bersyarat artinya murtad karena menandatangani kesetiaan terhadap NKRI. Dari situ, saya mulai berpikir kok seperti ini, fatwanya sangat keras dan mempersulit disamping juga mudah sekali untuk mengkafirkan perbuatan yang sebenarnya tidak kafir. Sehingga, saya tetap bersikeras untuk mengambil pembebasan bersyarat. Dan akhirnya, saya bisa keluar dari lapas pada tahun 2014,” terangnya.
Setelah bebas, Kurnia mengaku masih bertemu dengan orang yang dianggap moderat oleh kelompoknya. Dirinya juga pernah bertemu dengan para korban bom Marriot.
“Para korban, menerima musibah ini tanpa menyimpan permusuhan. Dari situ saya merasa empati kemudian langsung meminta maaf kepada para korban, meskipun saya tidak terlibat dalam kasus bom marriot. Dan banyak korban lainnya, yang membuat saya menjauh dari kelompok radikal maupun pemahaman radikal tersebut,” ucapnya.
Lebih lanjut lagi Kurnia pun menceritakan, bahwa menurut kaum radikalisme memandang nasionalisme itu tidak ada dalam Islam. Tetapi, dirinya yakin nasionalisme itu tidak bertentangan dengan Islam.
“Harta benda juga harus dijaga, apalagi tanah air, maka pasti harus lebih jaga. Ditambah lagi, menjaga dan merawat tanah air merupakan suatu kewajiban sebagai warga negara Indonesia,” jelasnya.
Tantangan saat ini, ungkap Kurnia, adalah banyak orang yang sudah terkikis rasa nasionalismenya. Karena, itu banyak ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan politik dan ada juga dari orang yang merusak negara ini serta disambung oleh orang-orang yang intoleran dan radikal.
“Orang-orang radikal menganggap Indonesia musuh dan dianggap sebagai negara kafir,” ucapnya.
Menurutnya, cara menumbuhkan rasa nasionalisme di dalam diri adalah dengan cara menumbuhkan pemahaman tentang sejarah bangsa. Artinya, harus memahami perjuangan yang besar dari para ulama, tokoh-tokoh Islam dan pejuang Islam untuk membuat Negara Indonesia merdeka. Dengan demikian, akan menciptakan rasa syukur. Jadi, dari sejarah dan rasa syukur bisa meningkatkan rasa cinta tanah air.