Di AS Fima mendalami tanaman obat di Washington State University di Pullman. Yakni kota sangat kecil di perbatasan antara negara bagian Washington dan Idaho. Yang alamnya begitu indah. Yang saya dua kali berkendara melewati kawasan ini.
Enam tahun Fima di Pullman. Tapi tetap saja cinta mati ke NTT. Dari Pullman, Fima pulang ke NTT –setelah mampir 9 bulan di ITB untuk mengambil post doctoral.
Di Kupang Fima bergabung ke Forum Academia NTT –disingkat FAN. Resminya FAN inilah yang memperjuangkan perlunya mass pool test Covid-19 di NTT.
Tapi ya itu tadi. Fima harus lebih sabar. Sampai sekarang idenyi itu masih di tengah jalan. Energinyi terlalu banyak untuk berhubungan dengan birokrasi.
Tapi Fima juga tidak putus asa. Cintanyi pada NTT tidak akan ambyar oleh kesulitan apa pun.
FAN sudah mendapatkan 29 anak muda yang akan menjalankan pool test itu nanti. Merekalah yang lolos dari lebih 70 orang yang melamar.
Senin hari ini mereka itu mulai melakukan pelatihan. Artinya, ada hope untuk pada saatnya nanti terlaksana.
Fima juga sudah mendapatkan peralatan PCR. Bahkan dua buah. Yakni meminjam milik Universitas Nusa Cendana dan milik RSUD Prof. Dr. WZ Johannes. Dua alat itu selama ini tidak banyak dipakai.
Hanya saja belum ada ruang untuk lab PCR itu. Pun sampai hari ini. Padahal ia perlu pula ruang yang bertekanan negatif.
Tiga minggu lalu Fima dan tim FAN menghadap Gubernur NTT. Mereka menghadap lagi Rabu lalu. Gubernur, kata Fima, menyanggupi untuk membangun ruang lab itu.
Tentu Fima masih harus bersabar sampai ruang itu tersedia.
Walhasil, dari tiga orang pemilik ide itu baru dr Andani yang sudah benar-benar melaksanakannya. Di lab milik Universitas Andalas
Padang. Yang dulunya hanya mampu mengetes 200 orang/hari kini bisa 1.570 orang/hari (DI’s Way: Nangis Tes).
Bahkan dari pengalaman riel di lapangan itu dr Andani punya kesimpulan penting: pool test paling efisien dan efektif adalah 5 sampel menjadi 1 tabung.