BANDUNG – Kualitas pendidikan tidak bisa hanya ditentukan oleh guru semata. Sebab, saat ini berkembang stigma bahwa rendahnya kualitas pendidikan akibat rendahnya kualitas guru.
Ketua IKA UPI Bidang Pembinaan Profesi Unifah Rosyidi menilai, kualitas guru merupakan mencerminkan kualitas kebijakan.
’’Itu kan artinya, kualitas guru saat ini merupakan cermin tata kelola dan kebijakan pendidikan,’’kata Unifa dalam acara Web Binar IKA UPI, Rabu, (10/6).
Alumni IKIP Bandung ini mengkritik sistem remunerasi yang dampak buru terhadap guru sebagai jabatan profesional karena disamakan dengan pegawai administrasi.
Sebab, tunjangan profesi guru bagi guru bersertifikat tidak memperhitungkan kinerjanya, tetapi ditentukan oleh syarat administratif, seperti mengajar minimal 24 jam per-minggu, tidak absen lebih dari tiga hari.
’’Itu juga dengan peraturan yang berbelit-belit,’’cetus dia.
Selain itu, kurangnya pelatihan guru disebabkan oleh anggaran pelatihan yang minim atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Sangat jarang Pemda menyelenggarakan program pelatihan guru yang sistematis dan terprogram.
Selain karena belum menganggap penting, Pemda juga tidak memiliki tenaga pelatih yang profesional dan kurang mampu bekerjasama dengan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) setempat.
Terkait hal itu, Unifah meminta jangan ada kesan meminggirkan LPTK di dalam agenda besar negara untuk “Peningkatan Mutu dan Keunggulan Pendidikan”.
Baginya, kesan itu adalah sebuah phylosophical error. “Visi presiden tidak demikian. Dalam ‘Peta Jalan Pendidikan Indonesia’ berbagai solusi telah diangkat, namun memerlukan pemikiran kebijakan yang mendasar.
’’Jadi sebaiknya bekerja sama dan bersinergi dengan para ahli pendidikan dan para ahli lain yang relevan,” ujarnya.
Menurutnya,rendahnya kemampuan literasi siswa yang diukur oleh PISA, berakar pada cara mengajar yang terlalu teoritis dengan kurikulum yang padat konten akademik.
Menurutnya, kurikulum yang berlaku sekarang seperti, matematik, sains, dan membaca yang diajarkan di sekolah, sepenuhnya berbasis akademik seolah menyiapkan siswa semuanya menjadi ilmuwan.
Padahal, yang diukur oleh PISA bukan aspek akademik, tetapi aspek literasinya. Selain itu, pendidikan di Indonesia harus berakar pada budaya bangsa.
Tekanan pada pendidikan akademik di sekolah, guru tidak dituntut mengaktifkan siswa untuk berlatih dan belajar secara aplikatif yang dilakukan oleh semua guru lulusan manapun, karena requirement kurikulum sekolah.