JAKARTA– Upaya kementerian agama untuk menangkal paham radikalisme di instansi pemerintahan menuai kontroversi. Sebab, salah satu yang diwacanakan adalah pelarangan cadar dan celana cingkrang. Alhasil, cadar dan celana cingkrang dianggap sebagai simbol radikal.
Wacana Kemenag ini menuai respon keras dari berbagai kalangan. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatuhl Ulama (PBNU), Ahmad Helmy Faishal Zaini ikut angkat suara. Helmy mengaku tidak setuju apabila seseorang wanita yang bercadar maupun pria yang bercelana cingkrang itu dianggap radikal.
“Di keluarga saya tidak ada yang bercadar, tetapi saya tidak setuju jika mereka yang bercadar atau celana cingkrang disebut radikal,” kata Helmy lewat Twitternya yang dikutip pada Senin, 4 November 2019.
Menurut dia, radikalisme itu bukan soal pakaian. Namun pikirian. “Radikalisme itu dalam pikiran bukan dalam pakaian. Radikal dan ready call jelas beda,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga ikut angkat suara soal pernyataan Menag Fachrul Razi. Menurut Jokowi, pakaian adalah hak pribadi masing-masing.
“Kalau saya ya yang namanya cara, cara berpakaian, cara berpakaian itu kan sebetulnya pilihan pribadi-pribadi, pilihan personal atau kebebasan pribadi setiap orang,” ujarnya di Istana.
Sebelumnya, Menag Fachrul juga menyoroti niqab atau cadar. Menurutnya cadar tidak adan kaitannya dengan kualitas iman seseorang. Namun kata Fachrul, cadar adalah budaya Arab.
“Nikab itu tidak ada ayatnya yang menganjurkan memakai nikab, tapi juga tidak ada yang melarang. Tapi kita ingin menggarisbawahi bahwa pemakaian nikab itu tidak ada kaitannya dengan kualitas keimanan atau ibadah seseorang,” kata Fachrul, Rabu (30/10) kemarin.
“Jadi jangan ada yang berpikir kalau dia masih pakai jilbab, tingkatnya masih rendah gitu. yang sudah tinggi yang sudah pakai nikab dan sama sekali matanya nggak keliatan,” imbuhnya.
Fachrul menjelaskan, cadar merupakan budaya beberapa suku di Arab. Menurut Fachrul, hanya sedikit orang di Arab dulu menggunakan cadar.
“Kita tidak berpikir menganjurkan melarang. Tapi kita ingin memberikan kejelasan itu bukan ukuran tingginya iman dan takwa seseorang. Itu hanya budaya-budaya yang digunakan beberapa suku Arab dulu dan sekarang hanya segelintiran orang di sana yang makai dan kalau kita naik haji atau umrah, yang banyak pakai itu orang Indonesia,” ujarnya. (dal/fin).