JAKARTA – Penegakan pelanggaran dalam pesta demokrasi harus diputuskan dengan adil. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan memiliki ragam budaya, memiliki kesulitan tersediri. Hanya saja, setiap putusan pelanggaran pemilu harus sama di setiap daerah.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), pasca Pemilu 2019 berencana menggelar seminar nasional untuk meningkatkan kualitas penanganan pelanggaran pemilu. Anggota Bawaslu Ratna RI, Dewi Petalolo mengungkapkan, hal ini menjadi awal rencana besar Bawaslu untuk memperjuangkan keadilan dalam penegakan hukum pemilu. “Nah, banyak orang bertanya apakah memang bisa kita melakukan penegakan hukum berkeadilan. Karena yang namanya keadilan itu memperlakukan yang sama terhadap kasus yang sama,” ujar Dewi di Jakarta, Jumat (1/11).
Menurut Dewi, penegakan hukum pemilu sulit dibayangkan. Mengingat masyarakat Indonesia banyak aspek yang perlu dikaji. Mulai dari pendekatan kultural, ras, dan golongan. Namun, dia berpendapat, keragaman dalam masyarakat Indonesia tersebut harus digunakan sebagai prinsip dalam penegakan hukum pemilu.
Dia menegaskan, dengan keragaman tersebut, tidak ada lagi perbedaan dalam melakukan penegakan pelanggaran. Semua pelanggaran dalam pemilu menurutnya harus diselesaikan dengan pendekatan keadilan dan kesetaraan.
Dewi menerangkan, nantinya dalam seminar nasional tersebut akan menghadirkan saksi sejarah yang menjadi penyelenggara Pemilu 2004 hingga 2019. Tidak hanya itu, seminar nasional juga akan menghadirkan pakar hukum pidana dan akademisi untuk memperkaya wawasan dalam penanganan pelanggaran pemilu.
“Segala catatan penting dan perdebatan selama Pemilu yang akan dibawa ke forum untuk didiskusikan. Sampai kita bisa menghasilkan konsep penanganan pelanggaran yang ideal seperti apa. Ini juga sebagai penegasan bahwa Bawaslu itu hadir sebagai bagian yang memastikan proses Pemilu itu berjalan jujur dan adil,” bebernya.
Sementara itu, anggota DKPP, Alfitra Salamm menilai pintu masuk penanganan pelanggaran yang terjadi pada pemilihan umum di Indonesia terlalu banyak. “Lembaga yang menangani perkara pelanggaran terlalu banyak, pintunya terlalu banyak, ada MK, Bawaslu, kepolisian, dan PTUN,” kata Alfitra.
Ia mengatakan banyaknya pintu masuk untuk menangani perkara pelanggaran pemilu tersebut sebenarnya memungkinkan adanya alternatif bagi para pencari keadilan. Namun, hal tersebut justru memberikan dampak lain. Seperti penanganan pelanggaran yang dinilai kurang efisien. Sebaiknya, lanjut dia, pada pemilihan umum berikutnya dapat dibentuk satu lembaga yang khusus menangani perkara kepemiluan. “Coba buat satu peradilan saja, tuntaskan satu. Saya tidak tahu, apakah Bawaslu atau DKPP yang jadi embrionya,” tandasnya.(khf/fin/rh)