BANDUNG– Teaching factory merupakan program pembelajaran di sekolah menengah kejuruan (SMK) berbasis produksi maupun jasa yang mengacu pada standar dan prosedur yang berlaku di industri. Implementasi program tersebut disesuaikan dengan kompetensi di setiap jurusan. Tak terkecuali yang dilakukan jurusan tata boga SMKN 15 Bandung.
Ketua Jurusan Tata Boga SMKN 15, Agustina Dwi Ratmi menjelaskan, teaching factory di jurusannya berbentuk praktik pengolahan makanan yang dilakukan di laboratorium teaching factory jurusan. Setiap kelas dibagi menjadi dua blok, yakni kelompok belajar produktif di kelas dan kelompok praktik di laboratorium. Mereka akan dirotasi setiap tiga bulan sekali.
”Selain bertujuan memberi gambaran kepada siswa tentang bagaimana suasana kerja di industri, praktik ini juga bisa dibilang sebagai kelas wirausaha, dimana siswa bisa lebih produktif dan menghasilkan olahan makanan,” ucapnya saat ditemui di sekolah, Jalan Gatot Subroto No. 4, Kota Bandung, Rabu (16/10).
Menurutnya, proses pembelajaran tak sebatas pada proses produksi, tapi menyeluruh. Dimulai dari perencanaan, pemilihan bahan makanan, proses produksi, pengemasan hingga pemasaran.
”Pada proses penjualan, mereka juga harus berusaha sendiri, menjajakan makanannya ke kelas-kelas atau melalui kantin. Kita ingin membuat mereka berjuang,” ujarnya.
Sementara itu, pembimbing sekaligus Guru Teaching Factory Jurusan Tata Boga, Aditia Gustiana Gunawan mengatakan, program tersebut pun dimanfaatkan untuk mengasah karakter siswa, khususnya karakter yang dibutuhkan dalam dunia industri, seperti manajemen waktu dan kepemimpinan.
”Setiap minggu kita pilih seorang siswa untuk menjadi koordinator guna mengasah jiwa kepemimpinan mereka. Hasilnya pun terlihat, ada rasa tanggung jawab lebih saat kita beri kepercayaan tersebut,” kata Aditia.
Dia menegaskan, program teaching factory penting diikuti oleh siswa. Selain untuk mengenalkan budaya kerja di dunia industri, program ini pun bisa mengasah keterampilan siswa.
”Kalau mereka menguasai teori tapi tidak bisa praktik sama sekali, sama saja nol. Jadi, ketika lulus mereka sudah memiliki keterampilan,” papar guru yang pernah menjadi head chef di salah satu hotel di Karawang ini.
Di usia yang masih belia, lanjutnya, para siswa dituntut bisa mengolah makanan menggunakan cara-cara mendasar.