JAKARTA –Penegakan hukum memang tidak pandang bulu. Tapi masifnya penangkapan, maupun operasi tangkap tangan, bukan bentuk keberhasilan dari sisi pencegahan. Pada porsi inilah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mampu memainkan perannya.
“Pemberantasan korupsi jangan hanya diukur dari jumlah kasus dan jumlah orang yang dipenjarakan, tetapi diukur dari berapa potensi korupsi yang bisa dicegah dan potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Wajar jika pidato Presiden dimaknai sebuah sindiran,” tegas Anggota Komisi III DPR Arsul Sani, kemarin (20/8).
Menurut Arsul, pidato tersebut menunjukkan kegelisahan Presiden Jokowi karena kehebohan penanganan korupsi oleh KPK tidak berbanding lurus dengan penyelamatan aset negara oleh lembaga tersebut. Apalagi, biaya penanganan per kasus oleh KPK lebih besar dibanding Polri dan Kejaksaan.
“Jelas saja, ini tidak bisa dimungkir. Ini juga yang dirasakan oleh Presiden. Terlebih anggarannya (KPK) lebih besar per satuan penanganan kasus korupsi dibanding dua penegak hukum yang lain,” ujar Arsul.
Dalam laporan Capaian dan Kinerja KPK Tahun 2018 yang dilansir website atau laman resmi KPK tertulis pada 2018 KPK melakukan sebanyak 28 OTT atau yang terbanyak sepanjang sejarah berdirinya lembaga tersebut, dengan penyelamatan uang negara sebesar Rp500 miliar.
Sementara anggaran yang diserap KPK di tahun yang sama, lebih besar dari uang negara yang diselamatkan, yakni Rp744,7 miliar. Untuk penyelamatan uang negara oleh Polri dari kasus korupsi jauh lebih tinggi dari KPK, yakni Rp2,3 triliun pada 2018. Kemudian di tahun yang sama, Kejaksaan menyelamatkan Rp326 miliar.
Untuk itu, Arsul menambahkan, Presiden Jokowi ingin mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik penegak hukum mau pun elemen masyarakat sipil, untuk sama-sama mengubah ukuran dan paradigma pemberantasan korupsi. Dari parameter memenjarakan sebanyak-banyaknya dan seberat-beratnya orang menjadi menyelamatkan sebesar-besarnya uang negara.
“Tidak berarti kemudian hukuman penjaranya diringankan. Tapi kalau kita cuma ramai dengan hukuman penjara, sementara melupakan aspek recovery (pengembalian) atau remedialnya (perbaikan), ya, makanya korupsi tinggal korupsi,” ujarnya.
Arsul tidak memungkiri paradigma lama hukuman seberat-beratnya bagi pelaku korupsi selama ini terus ditanamkan oleh LSM ke benak masyarakat, tanpa pernah mempersoalkan aspek penyelamatan atau pengembalian uang negara.