Kebijakan Moratorium Pengaruhi Proyeksi Bisnis

Seperti diketahui pada 2015 silam, pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakiri telah menerbitkan kebijakan moratorium penempatan pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia sektor in­formal (pembantu rumah tangga) ke seluruh negara kawasan Timur Tengah. Hal ini dilakukan pemerintah dalam rangka melindungi dan memperbaiki tata kelola perlindungan pe­kerja migran Indonesia dari berbagai risiko di ne­gara tujuan.

Latar belakang morato­rium bagi pemerintah ada­lah karena belum adanya regulasi mengenai perlin­dungan pekerja migran di negara penempatan. Ne­gara di kawasan Timur Tengah belum memiliki mekanisme penyelesaian masalah pekerja migran. Pe­merintah Indonesia belum melihat adanya komitmen kuat dari pemerintah ne­gara–negara di Timur Tengah dalam memberikan perlindungan kepada pe­kerja migran. Hal ini ten­tunya merujuk pada ting­ginya kasus yang menimpa pekerja Indonesia di kawa­san tersebut

Pemerintah sendiri telah menerbitkan Peraturan Men­teri Nomor 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarang­an Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Peng­guna Perseorangan. Dimana inti dari peraturan tersebut adalah menghentikan peng­iriman pekerja migran, khu­susnya sektor pembantu rumah tangga di seluruh negara Timur Tengah. Ne­gara-negara yang dimaksud adalah Arab Saudi, Kuawait, Lebanon, Bahrain, Irak, Me­sir, Maroko, Mauritania, Sudan, Oman, Suriah, Pa­lestina, Yaman, Tunisia, Yor­dania dan Uni Emirat Arab.

Selama moratorium, pe­merintah Indonesia terus mendorong negara di kawa­san tersebut untuk mem­perbaiki aturan/tata kelola penempatan dan perlindun­gan pekerja migran dan memiliki mekanisme penye­lesaian yang jelas jika ter­jadi masalah yang menimpa pekerja migran Indonesia.

Lebih lanjut Abussyukur mengatakan bahwa di luar kawasan Timur Tengah, jumlah tenaga migran In­donesia tetap ada dan cen­derung meningkat setiap bulannya. Tujuannya ada­lah kawasan Asia, seperti Malaysia, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong.(*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan