JAKARTA – Kebencian terhadap gerak dan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin kentara. Ini ditujukan dengan rentetan teror yang menimpa penyidik sampai pimpinan komisi antirasuah.
Teror bom molotov di kediaman Ketua KPK Agus Raharjo dan Wakil Ketua Laode Muhammad Syarif sengaja diciptakan dengan tujuan tertentu. Salah satunya menciptakan rasa resah di masyarakat menjelang pilpres.
”Segera Polri bergerak. Kejar, tangkap dan proses,” tegas Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, kemarin (9/1).
Mantan Panglima TNI periode 1998-1999 itu menegaskan, aksi tersebut tidak hanya sekadar menakut-nakuti pimpinan KPK. Tapi dicurigai memiliki implikasi dan tujuan lain. Salah satunya, membuat situasi menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) tidak kondusif, setelah banyaknya rentetan kasus berita hoaks yang beredar di media sosial.
”Teror ini membuat semua tidak nyaman. Membuat masyarakat resah dan merasa terancam. Terlebih, kita sedang akan menghadapi pilpres tiga bulan lagi,” imbuhnya.
Terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo berharap, kasus-kasus semacam segera dihentikan dan tidak dimanfaatkan sebagai konsumsi menjelang pilpres. ”Pada posisi ini, kinerja kepolisian dituntut cepat. Tidak hanya mengidentifikasi barang bukti, tapi juga menangkap pelaku dan dalangnya. Apa motif utamanya,” terangnya.
Dalam posisi ini, wajar berkembang beberapa asumsi yang mengaitkan dengan pilpres, tapi sebaiknya publik tidak mengasumsikan pada satu sisi saja. ”Tak perlu menduga-duga dulu. Apakah ini ada kaitannya dengan kinerja KPK selama ini, ataukan bertujuan lain, menjelang pilpres,” paparnya.
Polri, sambung Topan, harus pula menyadari, bahwa teror ini sebelumnya pernah menimpa penyidik KPK Novel Baswedan yang hingga kini belum juga terungkap.
”Kasus novel juga belum terungkap. Ini fenomena dan tantangan tersendiri bagi institusi polri. Kalau institusi KPK saja bisa ditekan diteror, tentu saja akan lebih mudah diintimidasi. Ini pertaruhan. Maka negara harus memberikan proteksi dini, agar penegakan hukum maksimal,” tegasnya.
Akademisi Universitas Lampung (Unila) Yusdianto Alam mengatakan, kejadian teror ini menandakan masih ada kelemahan dari sisi keamanan untuk pimpinan KPK. Kelemahan itu begitu kentara. Jika dilihat dari rentetan kasus yang menimpa Novel Baswedan, terakhir Agus Rahajo dan Laode Muhammad Syarif.