BUKAN rahasia bila segenggam kekuasaan, lebih berharga dari sekeranjang kebenaran. Begitulah sepenggal lirik dari lagu grup band Dewa berjudul Bukan Rahasia. Kalimat tersebut menggambarkan kondisi politik Indonesia hari ini, di mana hanya karena ingin mendapatkan kekuasaan, seseorang tega untuk mengorbankan kebenaran. Politikus menyebarkan kabar bohong guna menggiring opini publik yang menguntungkan kandidat politiknya.
Awal tahun baru ini kita diramaikan dengan tiga hoax yang diproduksi salah satu kubu dalam kontestasi Pilpres 2019.
Pertama adalah hoax 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos. Padahal, jangankan dicoblos, dicetak saja belum. Kedua hoax pembangunan Tol Cipali tanpa utang, kenyataannya tol Cipali dibangun dari sindikasi pinjaman dalam negeri. Ketiga hoax selang cuci darah digunakan 40 kali, hal ini segera diklarifikasi oleh pihak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Yang membuat miris adalah masih banyak masyarakat kita yang memaklumi bahkan mencari pembenaran dari pernyataan hoax tersebut. Bahkan saat hoax tersebut dikritik, sebagian pihak mengalihkan topik mencari kesalahan pada paslon lawannya.
Saat masyarakat menjadi permisif terhadap hoax asalkan menguntungkan paslon dukungannya, hal ini adalah tanda-tanda dekadensi moral yang akut. Hoax tetaplah hoax dari manapun dia berasal, apakah dari kandidat yang kita dukung atau tidak.
Mungkin benarlah sebuah ungkapan yang cukup popular, bahwa intelektual boleh salah namun tak boleh bohong. Politisi boleh bohong tak boleh salah. Walaupun menggambarkan real yang terjadi, namun jelas gambaran politisi dalam ungkapan tersebut sama sekali tak ideal. Seorang politisi haruslah selaras antara perkataan dan perbuatan.
Satu-satunya pihak yang dengan berani menyatakan perlawanan terhadap hoax adalah PSI. Partai baru dengan nuansa anak muda yang kental tersebut memberikan award” kepada pihak-pihak yang telah melakukan kebohongan. PSI mengemasnya dengan bahasa anak muda yang kekinian, sesuai dengan khittahnya sebagai partai generasi millennial. Namun alih-alih melakukan introspeksi, pihak yang merasa tertuduh malah menyerang balik PSI bahkan sampai melakukan ancaman kekerasan terhadap salah satu kader PSI.