Siapa tak kenal nama Ajum, pemburu burung dari Desa Citengah. Selama beberapa tahun dia mendapat order dari berbagai Bandar Burung di Jakarta, Cirebon dan Bandung. Lantas kenapa dia memilih bertaubat?
IGUN GUNAWAN, Sumedang
SOSOK sederhana itu tengah duduk di bangku Saung Sapatapaan yang berbahan bambu, atapnya injuk. Mengenakan pakaian berwarna merah namun sudah pudar, dengan topi koboy berwarna hitam. Sepintas dia tak terlihat seorang ‘raja tega’ terhadap burung, padahal kalau ada burung yang menclok diburuannya pasati dia buru sampai dapat.
Itu cerita dulu, saat belum dia mengenal Komunitas Sapatapaan dan, Eloner Indonesia, Pro Fauna Indonesia di bawah bimbingan dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Ajum mengakui jika dirinya memang si raja tega, ada burung di hadapannya apalagi secara nilai ekonomis menggiurkan langsung diburu.
”Dulu saya memang si raja tega lah, burung apa pun yang menclok di buruan saya ya pasti saya ambil. Karena saya sudah dibina, satu sama Pak (mantan) Camat (Wasman), karena dia komunitas juga. Saya merasa malu sendiri,” kata Ajum pada Jabar Ekspres.
Meski diakui Ajum, secara ekonomis dari berburu burung memang menggiurkan, dia menyebutkan pernah didatangi para Bandar dari Bandung, Cirebon dan Jakarta karena memang namanya sudah taka sing di para pecinta burung. Harga jual burung hasil buruannya pun bervariasi mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 5,5 juta.
”Kalau saya itung-itung dari saya kuli bangunan, lebih jauh hasilnya. Karena kalau burung bisa perekornya ada yang 500 ribu (rupiah), 200 ribu (rupiah) ada yang 100 ribu (rupiah) bahkan ada yang lebih dari itu. Bahkan kalau Anis itu ada yang harga 5,5 juta (rupiah), yang sudah jadi,” imbuhnya.
Namun kini, dirinya sudah bertaubat untuk tidak lagi merusak alam, terutama fauna yang ada di dalamnya. Pertaubatan itu dimulai setelah dirinya masuk dalam Komunitas Sapatapaan, di sana dia mendapat bimbingan dan pengetahuan kenapa harus menjaga lingkungan terutama secara lebih spesifik berkaitan dengan burung.