SUDAH berkali-kali Lilis diwanti-wanti para tetua. Bahwa tanah di kampung yang mereka tinggali kerap bergeser.
“Makanya, orang-orang tua dulu pesan kalau bangun rumah jangan ditembok semua,” tutur warga Kampung Puncaksari, Desa Cihantap, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, itu kepada Jawa Pos yang berkunjung ke rumahnya Jumat lalu (23/11).
Karena itulah, tinggi tembok beberapa rumah di Cihantap hanya separo. Sisanya rangka dan dinding kayu. Rumah Lilis hanya seperempatnya yang dibangun dengan tembok. Warga percaya, kalau ditembok semuanya, rumah malah rawan runtuh.
Cihantap adalah satu kepingan dari Desa Puncaksari, daerah jaringan perbukitan Gunung Halu dan jaringan Sungai Waduk Saguling. Tiga jam berkendara dari Kota Bandung, ibu kota Jawa Barat.
Lantai tiba-tiba saja terasa ambles mendadak. Menghancurkan formasi keramik. Dinding dan tiang penyangga teras juga retak-retak. Itu hanya sebagian risiko yang harus dihadapi warga Kampung Cihantap. Dari dulu dan kini kian parah.
Cihantap duduk di atas tebing lereng setinggi 50 meter yang sebagian besar sudah diubah menjadi petak-petak kecil persawahan. Yang disusun dalam tingkatan-tingkatan terasering. Hijau menghampar dengan pemandangan perbukitan yang indah.
Sejak 31 Oktober lalu, pergerakan tanah semakin mengkhawatirkan. Lantai tiba-tiba saja terasa ambles mendadak. Menghancurkan formasi keramik. Dinding dan tiang penyangga teras juga retak-retak.
Rumah nomor 27 yang ditinggali Lilis, 48, sudah bergeser beberapa kali. Lilis dan anak tertuanya, Susanti, 25, sudah tak ingat lagi berapa kali mereka membeli semen. Untuk menambal kerusakan dinding dan lantai rumah yang seolah tak pernah berhenti retak.
Saat pergeseran tanah terjadi 8 November lalu, Susanti bercerita, mereka sedang makan bersama di ruang makan. Lalu, terdengar gemeretak dinding dan lantai. Meja-meja bergemeretak seperti ada gempa. “Gelas taruh di meja tumpah,” katanya.
Sejak saat itu, mereka merasakan lantai rumah terus bergeser. Terutama saat hujan. Musim hujan adalah waktu yang paling mendebarkan.
Sore, saat mendung menggelantung, Lilis dan seluruh keluarga senantiasa terjaga. Saat hujan turun, Nis, warga Cihantap lainnya, biasanya datang mengetuk pintu sambil menggendong ibunya, Wariyah, yang berusia 120 tahun. Nis yang sudah berusia 65 tahun dan Wariyah mengungsi ke rumah Lilis.