Akhirnya kami bertemu di Jalan Emy Saelan Palu depan asrama Batalyon 711. Ada 18 relawan Tekpala UMI Makassar yang diangkut mobil truck dengan dua Tentara, Koptu Marinir Bangkit Riyanto dan Kopda Marinir Sukardiyanto.
Haru bercampur kegembiraan menyeruak dalam hati saya saat melihat mereka. Saya adalah korban terdampak gempa, sejak tiga malam terakhir pasca gempa Jumat 28 September 2018, tinggal bertiga dengan suami dan anak di kompleks perumahan 1.000 rumah yang ramai, namun lima hari terakhir menjadi rumah tak bertuan, gelap, dan sepi. Penghuninya memilih mengungsi ke daerah lain.
Kami berjalan bertiga di tengah kegelapan malam, tanpa cahaya lampu jalanan, tak banyak orang berlalu lalang, hanya kerumunan orang pada titik pengungsian. Sekali-kali tercium bau bangkai mayat dari reruntuhan bangunan yang belum tersentuh penanganan. Baunya dibawa angin malam yang gerah dan tak biasa. Lima hari serasa seperti lima tahun berjalan tanpa harapan.
Maka kehadiran mereka menjadi obat ampuh mengembalikan semangat dan keceriaan setelah berhari hari dilanda kecemasan dan ketidakpastian. Sampai kapan ini terjadi?
Haru biru semakin terasa ketika Koptu Marinir Bangkit bercerita bahwa dia dan Kopda Sukardiyanto sudah berada di Palu hari kedua pasca gempa, Sabtu 29 September 2018.
”Begitu ada berita, komandan langsung minta kami untuk turun ke Palu. Siap Ndan!! Tak banyak persiapan dengan seragam di badan, malam itu pukul 12 (24.00 wita) kami langsung bergerak,” tuturnya kepada saya.
Perjalanan Makassar melewati Mamuju, mereka tempuh dengan semangat. Memasuki Kabupaten Donggala Sulteng, medan menjadi sulit. Jalan normal yang harus dilewati tak ada lagi pascatsunami dan gempa yang melanda tiga lokasi Kabupaten Donggala, Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Mereka menerabas jalan.
”Sepanjang jalan Donggala – Palu, mayat banyak bertebaran, di jalan,” tutur Koptu Bangkit. Namun tugas menunggu mereka di Palu. Mereka berjalan terus.
Masuk di Kota Palu, mau tak mau mereka harus melewati jalur Pantai Talise, di lokasi Festival Pesona Nomoni yang tersapu Tsunami. Mereka menghentikan mobil dan beristirahat sejenak di situ. ”Kami mendengar suara suara ibu-ibu meminta tolong. Paginya ketika bangun, ternyata ada mayat perempuan persis didekat ban mobil,” tutur Bangkit dengan tenang.