Terlepas dari hal itu, menyikapi Permendikbud 17/2017 tentang ppdb dan keluar lagi Permendikbud 14/2018 yang isinya tidak jauh berbeda, kata dia, diharapkan PPDB bisa tersosialisasikan secara massif kepada masyarakat.
Menurut Mia, PPDB itu ibarat wajah pendidikan. Jika dari awalnya sudah ricuh, maka selama belajar mengajar dipastikan tidak tertib.
Wali Kota Ridwan Kamil mengatakan, belakang dia disibukkan dengan rutinitas berkunjung ke beberapa daerah lain di Jawa Barat. Di situ dia melihat banyak perbedaan yang cukup mencolok. Dengan standarisasi yang tinggi, kata dia, warga Kota Bandung patut banyak bersyukur. Sebab, nyaris segala ada dan serba mudah.
Meski demikian, warga Kota Bandung juga selalu dihadapkan dengan rutinitas tahunan pendidikan yang menjadi cerminan ke depan. Yaitu penerimaan PPDB dari mulai TK, SD hingga SMP.
Dia mengatakan, PPDB melibatkan banyak warga, siswa, ketelitian, keputusan-keputusan penting dari pemegang kebijakan. ”Semoga kepala sekolah disabarkan, dikuatkan mentalnya dalam menghadapi PPDB,” ungkap Ridwan Kamil usai halalbihalal bersama kepala sekolah di SMPN 43 Balong Gede, Kota Bandung, belum lama ini.
Menurut dia, warga Kota Bandung, khususnya para guru dan kepala sekolah harus menjadi masyarakat yang cerdas. Salah satu ciri dari warga yang cerdas adalah tidak mengulang kesalahan. ”Maka dari itu, PPDB yang baik untuk tahun ini adalah zero complain. Saya sendiri berharap, PPDB Kota Bandung menjadi yang terbaik,” kata calon Gubernur Jabar peraih suara tertinggi ini.
Agar tidak terjadi kesalahan, kata pria yang akrab disapa Emil itu, disdik sebaiknya merangkum dan memetakan kembali berbagai peraturan tidak terwadahi.
Menurut Emil, pendidikan di Kota Bandung memiliki prinsip keadilan. Adil itu, kata dia, menempatkan segala sesuatu berdasarkan takarannya. Bukan sama rata.
Mengerucut soal PPDB, Emil menegaskan, kebijakan penerimaan siswa baru tidak bisa dipukul rata di setiap sekolah. ”Aturan pendidikan di Kota Bandung itu sensitif. Berusaha memahami kebutuhan masyarakat,” tegasnya.
Yang kedua, kata dia, inklusi. Artinya, tidak semua anak sama. Ada yang kebutuhan khusus. Dan kini diatur, setiap sekolah wajib menerima setidaknya tiga orang anak berkebutuhan khusus. Begitu pun dengan siswa rawan melanjutkan pendidikan (RMP).