PENYELENGGARAAN Pilkada Serentak 2018 tinggal menghitung hari dan segera memasuki masa tenang. Sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 2015 yang dituangkan kembali dalam Peraturan KPU No 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye, pasangan calon Kepala Daerah dilarang melaksanakan kampanye dalam bentuk apapun. Masa tenang berlangsung selama tiga hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara, yang akan berlangsung tanggal 24 hingga 26 Juni 2018.
Ini adalah antiklimaks dari masa-masa krusial pasangan calon Kepala Daerah yang berlomba-lomba mengambil hati rakyat pada masa kampanye yang telah dilaksanakan sebelumnya. Banyak hal yang telah dilakukan, dari mulai penyebaran spanduk, baligho, poster, stiker dan berbagai merchandise dari pasangan calon. Kemudian pertemuan langsung dengan masyarakat, simpatisan, kader partai pengusung sampai pada tahapan Debat Publik yang disiarkan secara langsung di media elektronik untuk menakar sejauh mana visi misi pasangan calon bisa tersampaikan kepada masyarakat pengguna hak pilih. Secara umum, pasangan calon dapat melakukan apapun untuk berkampanye selama tidak melanggar aturan.
Sejatinya masa tenang adalah masa di mana pasangan calon, tim kampanye ataupun yang lainnya tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berkampanye dalam bentuk apapun. Namun seringkali masa tenang justru dijadikan ajang berkampanye yang sesungguhnya. Ini dikarenakan semakin dekatnya masa pemungutan suara sehingga semakin memuncak pula tensi politik diantara pasangan calon kepala daerah yang berlomba untuk memenangkan hati rakyat. Ada beberapa potensi tindakan yang biasanya berujung pada tindakan pelanggaran jelang hari pemungutan suara.
Diantara potensi pelanggaran tersebut salah satunya justru pelanggaran yang diakibatkan oleh adanya keterlambatan distribusi logistik pemungutan suara. Apalagi dengan adanya sebagian daerah yang mempunyai masalah letak geografis, yang mengakibatkan logistik yang sejatinya harus terdistribusi ke tempat pemungutan suara (TPS) satu hari sebelum hari pemungutan suara, tidak dapat didistribusikan tepat pada waktunya.
Kemudian, berkampanye melalui media sosial baik oleh tim kampanye atau simpatisan yang seringkali tidak bisa terdeteksi oleh penyelenggara pemilu. Dikarenakan penggunaan akun anonymous pada media sosial yang digunakan. Yang lebih rawan lagi media sosial seringkali dijadikan ajang kampanye hitam untuk memojokan salah satu pasangan calon dengan materi pemberitaan yang bohong.