Hanna masih ingat bagaimana Dita semasa masih mahasiswa suatu malam datang ke rumahnya. Bertanya tentang ilmu usaha percetakan. Dari sanalah, Dita mencetak dasarnya sebagai pengusaha percetakan.
’’Kalau ketemu saya, dia itu pasti nyapa akrab. Beberapa kali dia ke rumah buat minta bantu jual produknya. Pernah sari dele (kedelai), habatussaudah, sampai saya pernah ikut MLM gara-gara dia,’’ ungkapnya.
Saat berpapasan tahun lalu, mereka juga masih bertegur sapa. Tapi, tahun ini Hanna mengaku belum sempat bertemu.
Seingat dia, sedari kecil Dita tidak pernah menunjukkan sikap ekstrem. Bahkan, dia tak pernah melihat Dita mengumpat.
Lalu, sejak kapan sikap Dita itu berubah? Tak ada yang benar-benar tahu. Pihak keluarga, saat ditemui Jawa Pos pada Senin lalu, mengaku sudah dua tahun Dita tak pernah menjenguk sang ibu di Tembok Dukuh. Padahal, mereka masih tinggal sekota.
Kemarin rumah yang ditinggali ibu dan adik Dita terkunci. Tidak ada aktivitas yang terlihat di rumah yang juga menjadi tempat toko kelontong dan laundry itu.
’’Keluarganya sedang keluar, Mas. Kabarnya sedang mengurus jenazah Dita,’’ ujar Abdul Hamid, ketua RT 8 Tembok Dukuh.
Wakil Ketua RW 1 Kelurahan Tembok Dukuh Karyono menambahkan, ibu Dita shock setelah mendengar kelakuan anaknya. ’’Golek opo sih bocah kuwi?’’ kata Karyono menirukan sang ibu saat mengeluh.
Saat di Tembok Dukuh, tutur Karyono, Dita dikenal baik dalam keseharian. ’’Dulu pernah jadi ketua RT (8 periode, 2005–2010),’’ ungkap Karyono.
Istri Dita juga dikenal aktif memimpin ibu-ibu PKK RT menggagas pengobatan gratis. Meski begitu, Karyono juga mengakui bahwa tak ada satu pun warga yang benar-benar akrab dengan keluarganya. (*/c5/ttg)