Tak Bisa Digeser Meski Permintaan Presiden

Usai berziarah, mereka kemudian kembali ke Kabuyutan Cipageran untuk bersiap melaksanakan prosesi ritual Kawin Cai. Dalam ritual tersebut, berbagai elemen masyarakat serta tokoh lintas agama turut ambil bagian memeriahkan ritual yang rutin dilaksanakan setiap setahun sekali itu.

Beberapa paguyuban yang terlihat hadir, berasal dari Banten, Cianjur, bahkan Aceh. Tak hanya mereka yang beragama muslim saja, para penganut agama Budha, Hindu, serta penghayat kepercayaan pun terlihat hadir untuk mengikuti prosesi ritual Kawin Cai tersebut.

Sebelum prosesi ritual kawin cai, Wali Kota Cimahi Ajay M. Priatna beserta wakilnya, Ngatiyana, sebagai tuan rumah, didapuk menunggangi sisingaan untuk menuju tempat prosesi. Berada di atas sisingaan, Ajay dan Ngatiyana yang juga mengenakan pangsi berwarna hitam tak malu berjoget, diiringi lantunan musik khas Sunda.

Sebagian tokoh adat Kabuyutan Cipageran lainnya, mengikuti di belakang arak-arakan singa yang melambangkan Jawa Barat, sambil membawa ‘kele’ atau tempat air dari bambu dan kendi kecil berisi air.

Tiba di sebuah balairung (tempat berkumpul/bele tempat pertemuan), semuanya duduk bersila tanpa ada jarak. Barang bawaan dikumpulkan di hadapan mereka, seperti beberapa congcot nasi kuning (nasi tumpeng), nampan berisi buah-buahan, kendi, kelapa, dan sesajen seperti cerutu, kembang, serta menyan yang sudah dibakar.

Tak lama kemudian, petikan kecapi dan tiupan seruling dengan tembang berbahas Sunda buhun sebagai rajah bubuka yang dilakukan Abah Yusuf Maulana, salah satu tokoh adat Kabuyutan Cipageran sekaligus ketua panitia Kawin Cai Sa- Nusantara, menandakan ritual tersebut dimulai.

Menurut Abah Yusuf, isi dari apa yang ditembangkannya adalah, dia mengajak semua tamu yang hadir bermunajat memohon keselamatan dan keberkahan untuk semua umat manusia. Abah Yusuf menjelaskan, tradisi Kawin Cai, merupakan upaya dan simbol dari sebuah tekad serta perjuangan untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

”Air yang sekarang akan dikawinkan ini, dikumpulkan dari 120 mata air, dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh sampai Papua. Bertemunya air dari sumber mata air se-nusantara ini menggambarkan bahwa orang Sunda, sangat nasionalis. Masyarakatnya, masyarakat yang sangat terbuka dan selalu berpikir positif. Siapa pun yang datang dan berada di Jawa Barat meski berbeda agama dan suku pasti dianggap saudaranya,” ujar Abah Yusuf.

Tinggalkan Balasan