Suka Film, Dampingi Difabel sampai Pelosok

Saat mengetik di laptop, dia sebenarnya tak perlu layar monitor. Karena itulah, wajahnya tak mengarah ke monitor, melainkan lurus ke depan. Berkonsentrasi dengan asupan audio lewat headset-nya.

Gara-gara pandangan lurus ke depan tersebut, dia pernah mendapat masalah. Tepatnya saat bekerja dengan laptop di kafe langganannya di Helen Keller International dengan penugasan di Solo. ”Tiba-tiba wajah saya dipukul orang,” katanya.

Jaka langsung berdiri dan bertanya kenapa dipukul. Katanya karena memandang manteng terus ke cewek si pemukul itu.

Jaka pun marah karena merasa tidak memandang. Mereka ribut. Para karyawan kafe memberi tahu si pemukul bahwa Jaka tunanetra. Mungkin si pemukul bingung juga, tunanetra kok mengetik di laptop.

”Saya masih emosional. Saya maju beberapa langkah, saya pukul. Eh, ternyata keliru orang. Orang yang memukul sudah kabur. Waktu itu saya memang lupa pakai kacamata hitam, hahaha…” tutur Jaka, mengenang kisah pahit tersebut.

Jaka memang tipe yang tak bisa diam. Setelah lulus dari Sahid, dia bekerja di banyak tempat. Dia pernah bekerja di Handicap International (2006), ditempatkan di pelosok Aceh.

Dia merasa seperti ”membuka hutan” karena menemukan para difabel yang kondisinya masih tertutup dan sulit membuka diri. Namun, dia tetap mendekati mereka karena yakin banyak yang potensial.

Jaka akhirnya menemukan salah satunya. Yakni Erlinda Marlida, pengguna kursi roda. Awalnya tertutup, akhirnya terbuka kecerdasannya setelah dia diajak berdiskusi dan bekerja praktis mendampingi difabel. ”Sekarang Erlinda sedang mengikuti short course seputar disabilitas di Sydney, Australia,” katanya, bangga.

Jaka saat ini bekerja sebagai disability specialist di Ayo Inklusif! di Surabaya. Itu program konsorsium yang dibiayai USAID dengan anggota The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), Christoffel Blindenmission (CBM), Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, serta Saujana. Program itu berupaya membekali difabel muda agar siap kerja. Jaka mendesain program-program penguatan kemampuan difabel sesuai dengan ilmu dan pengalaman yang dimiliki.

Jaka punya kemampuan akademik yang mumpuni. Pada 2011, dia mendaftar ke Australian Development Scholarship kuota khusus dengan pelamar disabilitas. Saat itu dia bekerja di Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia dan menjadi freelance trainer untuk meningkatkan kesadaran difabel di mana-mana. Setelah lolos tes, Jaka berangkat ke Flinders University, Adelaide, pada 2013. Dia berkonsentrasi studi S-2 social work.

Tinggalkan Balasan