Lebih Menyiksa dari Sakit Jantung

Dokter tidak lagi memaksa saya meninggalkan rumah sakit. Saya benar-benar tidak kuat menahan sesak nafas, nyeri dada, sakit punggung dan perut yang sesek. Sebagai gantinya dokter minta suster untuk menyuntik saya morphin. Dua kali suntikan. Untuk menghilangkan semua rasa sakit itu.

Saya pasrah saja. Azrul menawari saya apakah ingin minum minuman hangat. Misalnya coklat panas. Untuk selingan agar tidak terus meneguk air putih. Saya mengangguk. Tatang, menantu saya lari mencari coklat panas.

Setelah coklat segelas kecil saya teguk habis dokter bertanya: minum apa itu? “Coklat,” kata Azrul. Dokter pun marah. Saya tidak boleh makan atau minum apa pun kecuali air putih.

Pencernaan saya harus diistirahatkan setelah tadi padi terlalu banyak macam-macam isi. Dua kali suntikan morphin itu ternyata tidak mempan. Sakit-sakit itu tidak terasa berkurang. Saya terus berbising. Tidak tahan. Akhirnya dokter memberi isyarat kepada perawat. Sambil menggerakkan tangan, sambil mengedipkan mata.

Isyarat untuk memberikan suntikan rahasia. Saya bisa menduga isyarat rahasia itu: disuntik obat tidur. Benar saja, perawat mengambil alat suntik. Tanpa memberitahu obat apakah itu. Langsung menyuntikannya.

Saya tahu. Itu obat tidur. Saya pasrah. Hanya saja obat tidur itu juga tidak bisa membuat saya tidur. Rasa sakitnya melebihi kekuatan obat tidurnya. Tapi saya tidak punya kekuatan untuk bising lagi. Saya lemas. Sakitnya tetap, tapi lemas.

Setengah jam kemudian dokter memutuskan saya harus meninggalkan rumah sakit. Sudah lima jam saya mendominasi gawat darurat. Saya tidak punya kekuatan lagi. Menyerah.

Dokter menegaskan bahwa saya harus sabar. Menunggu pencernaan saya memproses secara alami segala makanan berat yang saya lahap. Nanti akan normal kembali. Tunggu saja. Pulanglah ke hotel. Begitu kata dokter.

Saya pun meninggalkan rumah sakit Madinah. Entah apa nama rumah sakit itu. Badan masih sakit. Lemas. Saya dipapah Azrul dan Tatang. Sempoyongan. Tiba di loby hotel perut saya bergejolak. Mungkin akibat zig-zag di dalam taksi. Tapi berhasil naik lift.

Tiba di lorong menuju kamar, tiba-tiba saya muntah. Luar biasa banyak. Di atas karpet yang empuk dan tebal. Seisi perut seperti tumpah semua. Muntah itu membuat saya merasa lega. Perut tidak lagi sesek. Saya bisa lebih mudah bernafas. Tidak harus lagi selalu dalam posisi menengadah.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan