SAYA jatuh sakit lagi. Serius. Sangat serius. Akhir Desember lalu. Saat menjalani umrah bersama keluarga. Pembuluh darah utama saya koyak. Koyakannya panjang sekali.
Pembuluh utama yang disebut aorta itu diameternya 4 sentimeter. Yang tugasnya mengalirkan dengan deras darah yang baru keluar dari jantung. Yang akan membawa darah ke seluruh badan: ke otak, ke lengan, ke organ-organ di sekitar perut dan ke seluruh bagian bawah badan.
Akibatnya, pasok darah ke perut, liver, ginjal, pankreas, dan ke arah dua kaki saya terganggu berat. Bagian-bagian itu sakit semua. Hanya saja otak saya tidak terganggu. Saya masih bisa mikir. Apa yang harus saya lakukan. Semula saya tidak tahu kalau aorta saya koyak.
Tahunya dada sakit, punggung sakit, tidak bisa bernafas, perut terasa penuh sesak, tidak bisa kentut dan tidak bisa pup. Karena dada dan punggung sakit, saya mengira lagi kena serangan jantung. Sakitnya bukan main. Menyiksa. Nafas tersengal. Dada nyeri. Punggung sakit. Perut sesek. Tidak bisa kentut. Tidak bisa pup.
Saat siksaan itu terjadi saya lagi tiduran di kamar hotel saya di Madinah, Arab Saudi. Lagi menunggu azan dzuhur yang masih lama. Tiba-tiba saja tidak bisa bernafas. Saya terpaksa bangun dan berdiri. Agar bisa bernafas. Itu pun harus dalam posisi wajah menengadah dan mulut terbuka. Dada nyeri. Punggung sakit. Perut sesak.
Saya kian berkesimpulan saya kena serangan jantung. Saya pun memberitahu istri bahwa saya kena serangan jantung. Sambil memukul-mukul dada yang nyeri. Dan wajah terus dalam posisi menengadah. Agar bisa bernafas meski sangat berat.
Istri memberitahu anak-menantu di kamar lain. Secepat kilat seluruh keluarga sudah berkumpul di kamar saya. Panik. Saya tidak bisa bicara. Hanya terus nerocos yang kurang jelas bahwa saya kena serangan jantung. Cepat bawa ke dokter. Atau rumah sakit terdekat.
Istri saya terus menyiramkan sisa minyak kayu putih ke dada dan punggung saya. Azrul Ananda, anak saya, memapah saya menulusuri lorong menuju lift. Isna Fitriana, anak wedok saya, sibuk dengan handphonenya mencari hubungan dokter dan rumah sakit. Tatang, suami Isna, lari ke bawah mencari taksi. Ivo, istri Azrul menenangkan enam cucu yang ikut kumpul dan melongo semua.