Refleksi Menyambut Tahun Baru 2018

Harapan sempat datang dari sektor ekspor yang meningkat 17% sepanjang Januari-November 2017. Hanya masalahnya impor juga tumbuh 15,4% sehingga pertumbuhan net eksport hanya tinggal 1,6%. Harapan lain juga sempat muncul dari rancangan pembangunan infrastruktur yang targetnya sangat ambisius mencapai 18,6% dari total belanja di APBN. Ada 245 Proyek Strategis Nasional hampir mencakup seluruh infrastruktur dasar, pembangkit listrik, jembatan, jalan tol, bendungan dan pelabuhan. Hanya faktanya realisasi pembangunan infrastruktur berdasarkan data Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur baru mencapai 2% dari target. Begitu juga dengan mega proyek 35 ribu MW listrik yang baru selesai 2% saja.

Di sisi lain, besarnya alokasi untuk infrastruktur, ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat penyerapan tenaga kerja. Per Agustus 2017, penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi hanya sebesar 6,73% lebih rendah dari priode yang sama dengan tahun sebelumnya sebesar 6,74%. Bahkan di tahun 206, serapan tenaga kerja sektor konstruksi berkurang 230 ribu orang.

Disamping BI harus menerapkan suku bunga yang bersahabat bagi dunia usaha, maka pada tahun 2018 ini pemerintah mau tidak mau harus mau merevisi beberapa target juga strateginya. Seperti pada beberapa proyek ambisius pemerintah terhadap infrastruktur. Dari 245 proyek stratgegis nasional, harus betul-betul di evaluasi yang benar-benar feasible untuk dikerjakan dan memberi dampak langsung ke perekonomian.

Bahwasannya infrastruktur itu adalah hal yang penting dan menjadi variable utama turunnya global competitiveness Indonesia, itu bukan hal yang perlu diperdebatkan lagi. Tetapi ketika infrastruktur ternyata tidak berefek pada pertumbuhan ekonomi nasional, maka pemerintah harus bertanya apa yang salah dalam proyek infrastruktur itu.

Sebagai gambaran kekeliruan pemerintah dalam rancangan pembangunan infrastruktunya adalah ketika pemerintah berkali-kali membandingkan infrastruktur Indonesia dengan China. Jalan tol China sudah mencapai 280 ribu km, sementara jalan tol Indonesia baru 820 km. Tetapi pemerintah abai terhadap perbedaan signifikan antara jalan tol yang dibangun di China dengan di Indonesia.China di masa Den Xiaoping pada tahun 1984, membangun infrastruktur untuk menunjang proyek industrialisasi dengan konsep kawasan ekonomi khusus. Jalan tol bukan untuk mobilitas orang tapi mendorong biaya logistik barang industri supaya lebih murah dan mudah. Sebaliknya, pembangunan infrastruktur di Indonesia dimulai dengan kondisi pemanfaatan industri manufaktur yang belum siap. Jalan tol dan rel kereta dibangun tapi tidak berkaitan dengan jalur distribusi di kawasan industri. Ground Breaking jalur kereta ke Tanjung Priok pada tahun 2015 tidak ada kabarnya lagi sampai sekarang. Kawasan ekonomi khusus dibangun, namun kawasan industri yang sudah ada kurang mendapat perhatian. Ada keterputusan dalam proyek pembangunan pemerintah.

Tinggalkan Balasan