SUMEDANG – RW 13 dan 18 Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor menjadi sasaran banjir yang kerap terjadi setiap musim hujan. Tak tanggung-tanggung, banjir menggenangi hampir 77 Kepala Keluarga (KK) dari ratusan rumah yang ada di dusun tiga.
Kepala Dusun Tiga yang juga korban banjir Entis Sutisna mengatakan, banjir terjadi setiap musim hujan. Ketinggian air bervariasi antara 50 centimeter sampai 1,70 centimeter.
“Semenjak 2017 banjir parah terjadi dua kali. Bulan lalu dan hari ini (kemarin, red) sampai menggenangi ratusan rumah. Rumah saya juga biasanya jarang kebanjiran tapi kali ini air masuk setinggi lutut,” katanya, kemarin (17/12).
Entis menambahkan, Banjir Cipacing terjadi karena pendangkalan Sungai Cikeruh dan berkurangnya drainase akibat pembangunan perumahan dan apartemen.
“Ditambah di perbatasan Bandung-Sumedang ada pabrik yang membenteng bangunannya tanpa memperhatikan drainase. Jadi air tidak bisa mengalir yang berakibat air menggenang di daerah kami,” tuturnya.
Selain itu tambah Entis, Dusun Tiga yakni Kampung Baru merupakan daerah yang paling rendah di Jatinangor. “Sehingga air dari Desa Sayang, Mekargalih dan Sungai Cikeruh jatuh ke Cipacing,” katanya menambahkan.
Entis berharap, pemerintah mencarikan solusi terkait banjir ini. Sebab pemberian sumbangan atau pembagian sembako bukan solusi.
“Apartemen bermunculan perumahan makin menjamur, jadi pantas kalau banjir tak bisa dibendung. Harusnya memperhatikan dampak amdalnya sebelum perumahan atau apartemen dibangun,” ucapnya.
Anggota DPRD Sumedang yang datang ke lokasi banjir Dudi Supardi mengatakan, permasalahan Banjir Cipacing harus dicarikan solusi antara Pemkab Sumedang, Bandung dan Pemprov Jabar. Sebab pengerukan sungai sudah dilakukan di Sumedang, namun sungai di daerah Bandungnya dangkal air jadi balik lagi.
“Kalau hanya sebatas pengerukan sudah dilakukan di Cikeruh dan Cimande di Kecamatan Cimanggung. Namun tetap saja air menggenangi terus. Kayaknya ini harus Pemkab Bandung yang melebarkan sungainya,” katanya.
Dudi menambahkan, terkait izin pembangunan apartemen pemerintah harus melakukan studi berapakah kuota yang pas untuk pembangunan apartemen di Jatinangor. Artinya, jika sudah cukup tiga atau empat apartemen kenapa dibangun dan diberi izin lagi.
“Sekarang sudah ada empat apartemen yang sudah berdiri. Belum perumahan cluster dan kos kosan yang besar-besar. Apakah tempat hunian sebanyak itu belum cukup untuk mahasiswa atau pekerja di Jatinangor? Toh kalau dibangun lagi apakah tidak akan mubazir,” tuturnya.