Tak Berani Ajak Ngobrol Habibie

Semua berawal ketika salah seorang saudaranya menjual sawah milik keluarga untuk maju sebagai calon kepala desa di kampung halamannya di Karawang. Jabatan yang diincar gagal diraih, sedangkan semua aset warisan orang tua habis. Merantaulah Nasim ke Jakarta pada 1960-an. Itu pun tidak langsung menjadi tukang cukur. Tapi pekerja di berbagai kantor, termasuk di gedung DPR/MPR.

Tragedi nasional 30 September 1965 menandai babak baru dalam hidup Nasim. ”Pas banget 30 September tuh. Saya keluar dari kerjaan di gedung DPR/MPR dan akhirnya jadi tukang cukur di Blok M,” terang pria yang tinggal di kawasan Ciledug tersebut.

Menjadi tukang cukur dipilihnya karena teman-teman seperantauan kebetulan banyak berkecimpung di pekerjaan yang sama. Belajarlah dia kepada mereka. ”Waktu itu yang dipikirkan kerja apa saja, yang penting bisa hidup. Yang penting enggak maling,” tutur Nasim.

Pengalaman tak mengenakkan langsung dia alami saat menangani pelanggan pertama. Seorang kolonel angkatan udara. ”Boro-boro nyukur ABRI (TNI), nyukur orang biasa aja waktu itu masih ngeri. Baru banget soalnya,” kata Nasim mengingat pengalaman pertamanya itu.

Jadilah dalam benak Nasim muncul pikiran-pikiran negatif. Bagaimana kalau dia gagal? Bagaimana kalau pelanggan pertamanya tidak puas? Dan bagaimana-bagaimana yang lain sampai akhirnya Nasim kehilangan konsentrasi. Dan pisau Nasim pun menyayat kulit kepala sang kolonel.

Otomatis berdarah. Otomatis pula sang kolonel marah. Nasim pun ketakutan setengah mati. ”Untungnya, dia tidak sampai menampar. Saya benar-benar minta maaf,” kenang dia.

Pengalaman pahit itu pun mengajarinya untuk lebih berhati-hati. Juga mendorongnya agar lebih giat meningkatkan kemampuan. Untuk mematangkan kemampuan, dia memilih menangani pelanggan anak-anak dulu. Pengetahuannya tentang gaya rambut yang terus berubah juga dia genjot. Sampai ”zaman now”.

Tak jarang permintaan pelanggan yang membuatnya geli. Ada yang, misalnya, minta bagian atasnya panjang, tapi pinggirnya dibuat tipis. ”Saya bilang kan jelek. Dia mah senang. Ya sudah, kita mah ngikut saja, hehehe,” ucap Nasim.

Sekian puluh tahun setelah pengalaman tak mengenakkan dengan sang kolonel tadi, Nasim pun tumbuh menjadi tukang cukur yang mumpuni. Tak heran kalau pelanggannya datang dari berbagai kalangan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan