Mengunjungi Desa-Desa ”Hantu” di Sekitar Sinabung

Kami berpamitan. Sekali-sekali kesunyian Desa Sukanalu pecah oleh suara kayu yang dibanting Agus. Kami bergerak menuju Danau Lau Kawar. Akses ke Sinabung berakhir di danau itu. Dilanjutkan jalur pendakian ke puncak.

Tujuh tahun setelah gelegak vulkanis pertama, warga kini mulai terbiasa dengan Sinabung. Mereka tidak lagi khawatir untuk masuk dan beraktivitas di zona-zona merah. Mereka rata-rata ingin mengunjungi kampung lama atau kembali berladang. Sepanjang akses Lau Kawar, beberapa rumah masih berpenghuni. Beberapa toko juga masih buka.

Kawasan simpang Kutagugung bahkan relatif ramai dengan anak-anak yang bermain serta penjual es keliling. Padahal, dari perempatan itu mulut Sinabung terlihat jelas.

Di kesunyian Danau Lau Kawar, Supriman Sembiring, salah seorang warga, juga kedapatan tengah asyik menunggui mata pancingnya. Dia tengah mencari ikan-ikan air tawar untuk santap malam. Desanya di Sigarang Garang juga sudah terisolasi dan berubah menjadi desa hantu. ”Saya cuma ingin cari hiburan,” ucapnya.

Ada juga pasangan petani Aris Mayanto Sitepu dan Lastriya Bru Ginting. Mereka juga tengah menebar benih cabai dan terong di sebuah lereng di Kutagugung. Jarak ladang mereka dengan puncak Sinabung cuma 3 kilometer.

Aris dan Lastriya juga berasal dari Sigarang Garang. Rumah mereka menempati peringkat ketiga terdekat dengan kawah. Beberapa bulan lalu mereka berdua menerima bantuan sewa rumah dan sewa lahan dari pemerintah Rp 6,4 juta.

Harapannya, mereka membangun kehidupan baru di luar zona merah. Tapi, mereka memilih kembali ke zona merah. ”Uang Rp 6 juta sayang kalau dipakai semua. Mendingan buat modal beli bibit,” kata Aris.

Mereka berdua bukannya tidak takut. Tapi memang didesak kebutuhan untuk menyambung hidup. Lastriya sendiri menghafalkan tanda-tanda bahaya dari Sinabung. ”Kalau sudah bau belerang atau udara dingin sekali, besoknya pasti meletus besar,” ungkap Lastriya.

Yang lebih nekat mungkin Lusi Bru Ginting. Perempuan itu tinggal di gerbang Desa Sigarang Garang yang sudah amburadul diobrak-abrik lahar dingin. Rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari lintasan lahar dingin. ”Saya nggak pernah pindah ke posko sejak tahun 2013. Waktu letusan besar,” katanya.

Tinggalkan Balasan