Lantai-lantai berikutnya secara berurutan ditujukan untuk audiovisual, layanan naskah Nusantara, layanan deposit, monogram tertutup, ruang baca pemustaka, repositori terbitan karya Indonesia, layanan koleksi buku langka, dan layanan referensi.
Sedangkan pengunjung yang ingin mencari koleksi foto, peta, dan lukisan bisa menemukan di lantai 16. Lantai 17 dan 18 dipergunakan untuk Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Lantai 19 untuk layanan multimedia. Adapun koleksi berkala mutakhir seperti surat kabar, majalah, tabloid, dan jurnal bisa didapati di lantai 20.
Selebihnya, lantai 21-22 dipakai untuk layanan monogram terbuka. Berikutnya untuk layanan koleksi bangsa-bangsa di dunia dan majalah terjilid. Sedangkan lantai teratas menyediakan koleksi budaya Nusantara, executive lounge, dan ruang penerimaan tamu mancanegara.
Menurut Syarif, gedung di lahan seluas 11.975 meter persegi itu sejatinya sudah dikonsep sejak zaman Presiden Pertama Indonesia Soekarno. Persisnya pada 1952 atau 65 tahun lalu.
Konsepnya keseimbangan Silang Monas. Di Jalan Medan Merdeka Utara ada Istana Merdeka sebagai pusat pemerintahan. Lalu, di Medan Merdeka Barat ada Museum Nasional sebagai tempat menunjukkan kekayaan bangsa, dan di Medan Merdeka Timur ada Galeri Nasional.
Koleksi Perpusnas sekarang mencapai 4 juta buku. Gedung yang sekarang didesain bisa menampung semua koleksi sampai 50 tahun ke depan.
Hingga setengah abad ke depan, koleksi Perpusnas diperkirakan bakal mencapai 50 juta buku. ”Tiap tahun ada 200 ribu eksemplar yang diserahkan ke Perpusnas,” katanya.
Wacana untuk membangun gedung baru itu digencarkan lagi pada 2009, setelah gedung lama di Salemba kian kewalahan. Digelarlah sayembara perancangan gedung perpustakaan.
Terpilihlah karya arsitek lulusan Universitas Gadjah Mada R.B.B. Diwangkoro. Konsepnya, the window of the world alias jendela untuk menatap dunia.
”Kami ajukan ke Bappenas, Kemenkeu, dan DPR pada 2010, tapi gagal. Karena kondisi keuangan belum mendukung. Begitu pula pada 2011,” kata alumnus Jurusan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar, itu.
Tahun berikutnya, pada 2012, tim dari Perpusnas bertemu Jokowi yang saat itu menjabat gubernur DKI Jakarta. Gayung bersambut. Jokowi memberikan sinyal setuju dan menandatangani surat penggunaan lahan.