jabarekspres.com, BANDUNG – Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menggelar pameran kertas kayu daluang dengan tajuk “Hidden Treasure: Daluang, Fuya, and Tapa” untuk mengenalkan warisan budaya nusantara.
Selain Jawa Barat, 13 provinsi lainnya di Indonesia mengikuti acara yang akan digelar 13 September 2017 di Museum Sri Baduga, Kota Bandung. Tak hanya menampilkan peserta dari lokal datang juga ada dari perwakilan Thailand, Meksiko dan Amerika Latin.
Ester Miori, kepala museum Sribaduga mengatakan daluang atau kertas daur ulang merupakan salahsatu warisan budaya dan harus dikenalkan kembali kepada masyarakat.
Karena kata dia, daluang dapat menjadi inspirasi bagi para perajin dan bisa dibikin apa pun yang kita mau. ”Bisa jadi pakaian, tas, aksesoris. Selain itu juga dapat menarik wisatawan. Para perajin bisa memanfaatkan hasil budaya,” kata Ester saat ditemui di Museum Sri Baduga, kemarin (6/9).
Selain itu tambah Ester, kalangan pelajar sebagai generasi penerus harus dikenalkan dengan budaya tersebut. Pameran lebih menarik dengan turut sertanya Museum Bait Al Quran. ”Ada Alquran yang ditulis di kertas daur ulang dari abad ke 17. Koleksi ada juga dari Papua Nugini dan Meksiko,” tambahnya.
Selain itu masyarakat juga diperlihatkan proses pembuatan kertas daur ulang. ”Jadi masyarakat menyaksikan langsung. Kita beri kesempatan untuk masyarakat menulis di kertas daluang dengan tinta khusus mulai dari siswa dan ibu ibu pengajian,” terangnya.
Jelas dia, saat ini ada peninggalan warisan budaya yang sama dari beberapa provinsi. Kegiatan itu pun diharapkan bisa saling berbagi pengalaman, ide dan gagasan. ”Diskusi temen-temen dari Sulawesi, itu pakaian hanya dalam acara tertentu seperti upacara adat,” jelasnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan daluang memiliki nama panggilan berbeda dari setiap wilayah, ada daluang atau fuya maupun taya. ”Hanya beda diistilah saja, karena beda daerah, Barangnya sama, dihasil dan prosesnya sama dari Papua dikatakannya fuya,” jelasnya.
Pameran yang digelar sejak 24 Agustus lalu itu pun mengangkat warisan budaya tak benda berupa daluang atau kertas saeh yang dulu digunakan sebagai media penulisan dan gambar.