Setiap Pekan Selalu Dapat Info Pasien Meninggal

Kegeramannya pun memuncak saat kerelaan istri berbagi ginjal terbentur tagihan biaya Rp 250 juta dan wajib naik ke kelas VVIP. Padahal, dia merupakan pasien BPJS. Dia menuding ada komersialisasi oleh pihak RS di wilayah Jakarta Pusat tersebut.

Maklum, selama ini pasien BPJS kelas III kerap menjadi korban kebijakan. Tidak hanya didiskriminasi, pasien kerap dimanfaatkan oknum RS untuk mengeruk keuntungan lebih dari negara. Sadar tagihan tersebut komersial, Tony me­lakukan protes. Namun, itu sia-sia. Saat itulah dia mulai berpikir untuk berserikat. Sebab, dia yakin suara kelompok yang berserikat jauh lebih disegani daripada protes perseorangan.

Bersama seorang kawan sesama pasien gagal ginjal, Petrus Hariyanto, Tony pun memutuskan untuk mendirikan KPCDI. Keduanya beralasan, melawan kebijakan diskriminasi dan merugikan bak berhadapan dengan tembok.

”Saat cuci darah bersebelahan, kami sama-sama bertekad membentuk komunitas,” ujarnya mengenang peristiwa tersebut. Dan pada perayaan Hari Ginjal 15 Maret 2016, KPCDI pun resmi dibentuk. Benar saja, belakangan dia bisa menjalani cangkok ginjal tanpa biaya sepeser pun.

Pada awal pembentukannya, lanjut Tony, KPCDI hanya berisi pasien di RS tempat dirinya biasa menjalani cuci darah. Namun, perlahan dia bersama anggota lain mulai merambah ke RS lain di Jakarta. Tujuannya, serikat semakin kuat.

Untuk mengampanyekan komunitasnya, KPCDI memanfaatkan fanspage di berbagai media sosial. ”Kami posting informasi seputar penyakit gagal ginjal sehingga banyak pasien yang tertarik,” katanya. Untuk menjaga komunikasi, dia pun memanfaatkan sebuah aplikasi pesan Telegram yang bisa menampung ribuan anggota.”Semua keluhan atau kasus di daerah di-share di situ,” katanya.

Nanti semua laporan maupun keluhan yang masuk diteliti. Agar berjalan maksimal, upaya semi-investigasi pun dilakukan. Kebetulan, ada petugas khusus yang melakukan kerja investigatif. Jumlahnya tiga orang. Alumnus UGM itu menyatakan, kekuatan data menjadi kunci dalam melakukan advokasi. Dengan demikian, saat audiensi, KPCDI tidak membawa amunisi ompong.

Untuk menciptakan hubungan yang lebih intim, sesekali kegiatan di luar pun dilakukan. Misalnya, traveling, workshop, hingga sebatas kumpul-kumpul kecil. Karena sudah ribuan pasien yang bergabung, dia pun mulai membuat cabang. Di antaranya, DI Jogja-Jateng dan Riau. Tujuannya, mempermudah akses koordinasi.

Tinggalkan Balasan