Menaklukkan ”Cima Coppi”, Tanjakan Tertinggi di Italia (2-Habis)

Plus, Gavia ini finisnya di ketinggian 2.625 meter. Juga hampir sama dengan Stelvio. Jadi, pada beberapa kilometer terakhir, udara akan terasa sangat tipis, napas semakin sulit, dan kaki akan terasa semakin berat.

Karena ketinggian ini pula, Gavia masuk kategori ”Cima Coppi”. Menjadi titik tertinggi dalam beberapa penyelenggaraan Giro d’Italia.

Bagi kami dari Indonesia, menuntaskan Gavia ini terasa paling menyiksa. Satu, karena ini sudah hari keenam bersepeda dalam tujuh hari. Dua, karena kami baru saja dihajar oleh beratnya kemiringan Mortirolo.

Pada kilometer akhir itu, saya sempat benar-benar lemah. Kaki seperti sudah tidak mau berputar. Dan mungkin karena sudah kekurangan oksigen, saya sempat tertawa sendiri tanpa alasan yang jelas. Teman-teman juga ada yang merasa sudah membayangkan yang tidak-tidak.

Ilona Kohlerova, guide kami dari Trek Travel, sempat memberi saya semangat dengan ucapan: ”Ayo ucapkan Shut Up Legs! Seperti yang dilakukan (mantan pembalap) Jens Voigt.”

Ketika saya bilang ”No more legs”, sang guide menghibur/menyindir dengan bahasa Indonesia: ”Itu hanya perasaanmu saja.”

Mendengar itu, saya tertawa beneran (bukan tertawa aneh seperti sebelumnya). Di awal perjalanan ini, kami memang sering menggoda teman yang mengeluh kecapekan. Ketika mereka bilang sudah tidak kuat, kami selalu bilang, ”Itu hanya perasaanmu saja”.

Sekitar 3 kilometer km dari puncak, ada sebuah terowongan panjang yang gelap. Lampunya ada, tapi remang-remang. Para guide mengingatkan, kalau kondisi badan sudah tidak beres, kita bisa lengah dan menabrak dinding terowongan, lalu jatuh. Padahal, di dalam terowongan itu jalannya masih miring di atas 10 persen!

Lega sudah menaklukkan satu lagi Cima Coppi. Lega karena inilah tanjakan terakhir perjalanan ke Italia tahun ini. Ada sebuah kafe di puncak itu, dan kami pun menikmati minuman hot chocolate, atau hot tea, atau hot coffee. Setelah semua finis, baru kami turun balik ke Bormio (turun ngebut 25 km).

 

Di kafe itu, digantung banyak jersey dari berbagai negara di dunia. Rupanya, pemiliknya adalah kolektor. Sadar rombongan kami dari Indonesia, dia meminta salah satu jersey kami. Waktu itu saya mengenakan jersey replika jersey sepak bola Persebaya Surabaya. Teman-teman yang lain mengenakan jersey berlogo Azrul Ananda School of Suffering (AA SoS).

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan