jabarekspres.com, JAKARTA – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) mendesak agar Peraturan Pemerintah tentang THR segera direvisi. Tenggat waktu pembayaran paling lambat H-7 sebelum Lebaran dinilai rawan dimanfaatkan oleh pihak pengusaha untuk berbuat curang.
Menurut presiden KSPI, Said Iqbal, aturan pembayaran THR harus diubah H-30 agar pengusaha tidak bisa mengelak dan memanfaatkan waktu tersebut untuk melakukan PHK.
Menurutnya, H-7 adalah waktu di mana pengusaha sudah menerapkan libur bersama selama Lebaran. ”Jadi kalaupun perusahaan melakukan PHK pada hari-hari tersebut, tidak ada pengaruhnya terhadap produksi,” katanya di Jakarta kemarin (15/6).
Selain itu, perlu adanya peraturan tambahan yang memuat larangan bagi perusahaan melakukan PHK atau memutus kontrak buruh pada H-30 sampai H+15. Said juga menyebut, ada beberapa pengusaha yang melakukan PHK dan pemutusan karyawan kontrak demi menghindari pembayaran THR
Iqbal yang baru saja terpilih kembali sebagai Governing Body International Labour Organization (ILO) ini menjelaskan bahwa ada kelemahan peraturan pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Keagamaan.
Pengusaha yang mem-PHK buruh kontrak sebelum Lebaran, maka tidak ada kewajiban membayar THR buruhnya. Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak memperpanjang kontrak kerja karyawannya untuk menghindari pembayaran THR. ”Ini adalah modus yang berulang-ulang setiap tahun dilakukan pengusaha untuk menghindari membayar THR,” kata Iqbal.
Pemerintah, kata Iqbal, tidak boleh hanya berbangga diri dengan posko THR dan membuat aturan bahwa buruh masa kerja 1 bulan sudah dapat THR. Sebab yang paling dibutuhkan buruh adalah law enforcement untuk melawan “modus kecurangan” tidak membayar THR.
Iqbal mendesak pemerintah melakukan sidak ke perusahaan-perusahaan, bukan sekadar membentuk posko. Selain itu, pemerintah harus memberikan sanksi yang mempunyai efek jera yaitu pidana dan perdata, bukan sekadar sanksi administratif.
”Regulasi seperti ini yang dibutuhkan buruh, bukan sekedar posko dan Permenaker abal-abal yang tidak bertaring dihadapan pengusaha,” tegas Iqbal. (tau/rie)