Cerita Jamaah Tabligh Terjebak Baku Tembak di Filipina Selatan

Tim itu ditugaskan untuk menjemput enam WNI yang berada di Sultan Naga Dimaporo. Meski lokasi cukup jauh dari pusat konflik, ancaman serangan tak bisa disepelekan. Karena itu, tiga anggota tim sangat berhati-hati dalam penjemputan.

Beda dengan empat anggota tim yang berangkat ke Marantao, tim yang mengambil rute Iligan City-Maria Christina-Pantar-Marawi City-Marawi-Pantar-Maria Christina-Iligan City-Languindingan Airport itu mendapat pengawalan ketat militer. Tapi, bukan berarti tak ada ancaman. Sebab, saat tim sudah berada di perbatasan Marawi untuk menuju Marantao, tengah berlangsung pertempuran antara militer dan kelompok separatis. Hujan peluru begitu jelas terdengar.

”Makanya, mereka mengaku merinding dan deg-degan. Sempat menangis haru saat kembali bertemu karena memang tidak ada kawalan,” ujarnya. Selain itu, banyak hambatan bagi tim untuk bisa menemukan rombongan. Antara lain, gangguan komunikasi antartim karena jaringan yang buruk. ”Namanya juga daerah konflik. Tidak konflik saja, jaringan telepon di sana susah,” ungkapnya.

Belum lagi banyaknya pos pemeriksaan sepanjang jalur menuju lokasi. Karena itu, tim harus menghabiskan waktu cukup lama untuk melalui satu per satu checkpoint yang ada. Untung, pemerintah sudah menjalin kerja sama yang baik dengan otoritas setempat. ”Hingga akhirnya kedua tim dan rombongan bertemu dan tiba di Davao,” ujarnya dengan lega.

Ditemui dalam kesempatan yang sama, Abdullah Awang, salah seorang penjemput, mengaku bersyukur karena rekannya bisa kembali dengan selamat. Meski sejak awal dia mengetahui bahwa seluruh anggota Jamaah Tabligh berada dalam kondisi baik dari komunikasi yang terjalin.

”Alhamdulillah, di sana mereka dibantu masyarakat setempat. Kami percaya, karena kami selalu datang dengan baik, maka akan diterima dengan baik,” paparnya. (*/c11/oki/rie)

Tinggalkan Balasan