Djoko Tjahjono Iskandar, 40 Tahun Abdikan Diri Teliti Katak Indonesia

’’Itu yang memberi nama orang lain. Bukan saya lho. Kalau saya yang memberi nama, biasanya ada unsur lokal atau nama regionalnya,’’ terangnya. Djoko menilai, penggunaan namanya untuk spesies-spesies baru merupakan apresiasi sekaligus kepercayaan masyarakat.

Karena tidak menemukan literatur katak dari Indonesia, Djoko harus belajar dari ahli katak dari luar negeri. Kala itu, awal 1980-an, komunikasi tidak semudah menggerakkan jemari di atas keyboard komputer yang tersambung internet. Kala itu, Djoko harus berkomunikasi melalui surat. Setiap surat yang dikirim biasanya membutuhkan waktu minimal tiga minggu sampai mendapat jawaban.

’’Jika beruntung, saya dikirimi sepaket buku literatur katak,’’ ceritanya.

Salah satu ahli katak dan reptil yang menjadi sahabat pena Djoko adalah Robert Frederick Inger. Dia merupakan ilmuwan dari The Field Museum, Chicago, Amerika Serikat. Kebetulan, Inger juga banyak mempelajari keanekaragaman hayati Indonesia.

Pengetahuan baru yang didapat dari korespondensi dengan Inger itu membuat Djoko makin yakin untuk terjun ke lapangan dan melakukan penelitian langsung. Hutan Kalimantan menjadi saksi hidup penelitian perdananya. Dan katak Barbourula kalimantanensis, yang masuk famili Discoglossidae, menjadi penemuan pertamanya.

Djoko juga menemukan spesies katak baru secara tidak sengaja. Kala itu, pada 2008, dia kembali meneliti katak Barbourula kalimantanensis. Dia mengumpulkan spesies katak itu di dalam wadah. Keesokannya, katak tersebut mati.

Awalnya, Djoko tidak tahu apa yang membuat katak tersebut tiba-tiba mati. Dia pun kembali melakukan riset dengan objek dan metode yang sama. ’’Besoknya mati juga. Aneh kan? Saya jadi penasaran,’’ paparnya.

Djoko lalu mengambil dua katak lagi. Yang satu diletakkan di wadah dan satu lagi di karamba sungai. Keesokannya, katak di wadah kembali ditemukan mati. Sementara itu, katak di karamba dengan air yang mengalir tetap hidup. Rasa penasaran Djoko makin menjadi.

Katak-katak yang mati itu pun kemudian dia awetkan untuk penelitian lebih lanjut di laboratorium. Dia ingin mengetahui organ dalam katak tersebut.

’’Benar saja, katak itu ternyata tidak punya paru-paru. Mungkin, itulah satu-satunya katak di dunia yang tidak mempunyai paru-paru,’’ ungkap alumnus SMA Kristen Bandung itu.

Tinggalkan Balasan