Hartanto Gunawan, 20 Tahun Berkiprah Entas Anak-Anak Remaja di Thailand

Para remaja tersebut tinggal di lembaga pelatihan itu. Semacam tempat penampungan calon tenaga kerja. Sehari-hari mereka mendapat pelatihan keperawatan. Gratis. Semua dibiayai pemerintah Thailand. Baru setelah lulus dari lembaga itu, mereka tidak lagi mendapat fasilitas sekolah gratis.

Nah, mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki keahlian apa-apa sangat rawan menjadi korban human trafficking. Misalnya, terjerumus menjadi terapis pijat plus-plus atau komoditas tenaga kerja di luar negeri.

’’Perempuan lebih berpotensi menjadi korban. Karena itulah, kami sekarang hanya menerima murid perempuan,’’ kata Hartanto.

Pada awal berdiri, CLC sebenarnya pernah menerima murid laki-laki. Namun, setelah empat tahun berjalan, CLC dikhususkan untuk murid perempuan.

CLC memang hanya memiliki skema program pelatihan selama setahun. Para murid diberi beasiswa penuh untuk belajar menjadi perawat. Dalam pelatihan, CLC bekerja sama dengan Universitas Siam dan Thonburi Hospital.

Selain itu, para siswa diajari keterampilan lain seperti musik dan tari klasik Thailand, kerajinan ukiran buah dan sabun, merangkai bunga, pelajaran bahasa, hingga masakan makanan khas Thailand.

Yang tidak kalah penting, mereka mesti mengikuti meditasi setiap hari. Menurut Hartanto, meditasi akan membantu menguatkan dan meneguhkan pikiran. Orang yang rajin bermeditasi akan mudah fokus.

’’Karena itu, anak-anak di sini juga disiplin dan menjaga tata krama,’’ ungkap pria yang akrab dipanggil Khun Pho atau ayah oleh para muridnya itu.

Kenapa yang dipilih adalah keahlian keperawatan? Hartanto menilai, profesi perawatlah yang menjadi antitesis human trafficking atau perbudakan. Perempuan tidak akan dilecehkan jika menjadi perawat. Bahkan dimuliakan.

’’Mau orang kaya atau punya jabatan tinggi, kalau perawat menyuruh pasien berbaring atau istirahat, pasti dituruti,’’ tuturnya.

Selain itu, penghasilan seorang perawat di Thailand juga cukup baik. Sekitar 25 ribu baht (sekitar Rp 9 juta) sebulan. Gaji sebesar itu sudah cukup untuk menghidupi keluarga di kampung. Bahkan, banyak alumnus CLC yang bisa membantu biaya sekolah adik-adik mereka. Hingga kini, CLC sudah meluluskan 200 orang.

’’Selama sebelas tahun ini misi kami mengantar anak-anak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tingkat keberhasilan mereka setelah lulus mencapai 98,23 persen,’’ ujar pria yang sampai saat ini masih memiliki keluarga di Meruya, Jakarta Barat, itu.

Tinggalkan Balasan