Pria yang pernah menjadi tenaga honorer di Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi tersebut lalu duduk termenung di pinggir jalan. Teringat celoteh dan tangis anaknya. Dipandanginya foto-foto anak dan istrinya di handphone miliknya. Dia lelah, haus, dan lapar. Tak ada seorang pun yang menemaninya.
”Oh, begini ya rasanya hidup sendiri,” ucap pemilik tinggi 170 sentimeter dengan berat 56 kilogram itu.
Jika menyerah, dia pasti tidak akan mendapatkan restu untuk kali kedua dari istrinya. Pikiran yang saling berseberangan membuatnya pusing. Dia akhirnya tertidur. Setelah terbangun, jarum jam sudah menunjuk pukul 17.00. Langit hampir gelap, dia bergegas ke pusat kota. Secepatnya dia mencari masjid untuk salat dan menginap.
Selain tidak akan mendapat restu kali kedua dari sang istri, Mamat bakal sulit memperoleh restu dari mertua. Apalagi, sebelum berangkat, dia menandatangani surat perjanjian bermeterai dengan sang mertua. Isinya menyatakan, bila lebih dari setahun tidak pulang, Mamat dipersilakan menceraikan istrinya.
Dia bisa memaklumi tuntutan mertuanya tersebut. Sebab, mana ada mertua yang merelakan anaknya hidup bersama suami yang ”aneh” dan tidak jelas.
Perjalanan berlanjut dengan sisa tenaga dan mental terus tergerus. Akhirnya dia tiba di Jogjakarta. Di Kota Gudeg, dia disambut sejumlah komunitas sepeda. Namun, dia tidak bisa berlama-lama. Perjalanan harus dilanjutkan. Saat sampai di Sragen, ada seorang pesepeda dari Jogja yang menyusulnya. Dia adalah Sanityoso Andaru. Sani bermaksud menemani Mamat menjalankan aksinya. Ketika itulah, semangatnya membara lagi.
’’Ternyata Tuhan tidak diam. Dia mengirimkan teman sehingga semangat saya kembali menggebu-gebu,’’ ucapnya.
Sani punya tujuan sama dengan Mamat. Pemuda 21 tahun itu ingin bersepeda ke timur. Menuju Banyuwangi. Namun, sepedanya lebih terlihat mentereng ketimbang sepeda Mamat yang sudah berlepotan oli. Sani tak tega memberi tahu harga sepedanya ke Mamat. Yang jelas, sepeda mountain bike (MTB) seharga puluhan juta milik Sani itu bisa dikayuh lebih kencang ketimbang sepeda lipat Mamat yang dibeli seharga Rp 500 ribu.
Tak heran, dalam perjalanan, mahasiswa Institut Pertanian (Stiper) Jogjakarta tersebut berkali-kali meninggalkan Mamat. Apalagi, sesuai dengan misinya, Mamat mesti memunguti sampah plastik yang dibuang sembarangan di jalan. Sampah-sampah itu, setelah penuh di keranjang, diberikan kepada pemulung yang ditemui di jalan.