Menghadapi ujian berupa penyakit gagal ginjal kronis bukanlah hal yang gampang. Selain, harus menjalani cuci darah dua kali dalam seminggu, perlahan Yadin Burhanudin mulai kehilangan dunianya sebagai seorang jurnalis.
FIKA FITRIA SYAHRONI, Buah Batu
TERIK panas mentari menemani langkah wartawan Bandung Ekspres menuju Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persis Bandung di Jalan Ciganitri, Buah Batu, Kota Bandung, Jumat (20/1) siang.
Sunyi senyap terlihat di beberapa ruangan kelas kampus itu. Terutama ruangan kelas lantai atas, dua kelas terlihat kosong. Hanya sedikit mahasiswa yang kuliah, tidak seramai seperti biasanya. Suasana liburan yang masih terasa usai UAS kemarin, sehingga perkuliahan pun masih belum berjalan efektif.
Dari kejauhan, terlihat seorang dosen sedang duduk santai di teras massjid kampus usai menunaikan salat Dzuhur. Saat itu, Yadin terlihat sangat rapi. Dia mengenakan kemeja panjang berwarna kuning mencolok, dan bercelana hitam panjang.
Penampilannya yang rapi, menunjukan Yadin seorang dosen yang baik hati dan menginspirasi. Kisah hidupnya luar biasa dan patut untuk diteladani. Terutama kisahnya yang mengharukan, tentang perjuangannya dalam menghadapi penyakit ganas, gagal ginjal kronis.
Usianya sudah kepala empat. Memiliki satu istri satu bernama Ela Nurlaela, 38, satu anak, Alifa Mustikaning Qalby, 13 yang sekarang masih duduk di kelas 1 Tsanawiyah, Pajagalan.
Pada Desember 2005 lalu, dokter di RS Kebon Jati memvonis Yadin gagal ginjal. ”Kemungkinan penyebabnya adalah hipertensi (darah tinggi). Waktu itu, tensi saya 210/90, padahal normalnya harus 120/ 100. Mungkin karena tingginya tekanan darah saya waktu itu, akhirnya saya pun terkena penyakit gagal ginjal,” ungkap Yadin kepada Jabar Ekspres.
Saat itu, dirinya bekerja sebagai reporter salah satu radio lokal di Bandung. Kondisi badan yang semakin melemah, membuatnya tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Dia benar-benar harus meninggalkan dunia jurnalistik yang telah menyatu dengan jiwanya. Namun, hal itu tidak membuat Yadin menyerah memperjuangkan hidupnya, malah terjadi perubahan besar bagi hidupnya.
Sejak saat itu, Yadin menjalani cuci darah dua kali seminggu sampai sekarang. Jika dihitung-hitung, cuci darah tersebut sudah berlangsung selama 11 tahun. ”Perkiraan saya, mungkin saja sudah lebih lebih dari seribu kali saya menjalani cuci darah. Itupun saya pernah melihat di medical report (catatan medis). Di sana, tercantum sudah lebih seibu kali saya cuci darah,” ujar Yadin.