Cerita Perjuangan Para Pencari Suaka dari Timur Tengah di Indonesia

Konflik berkepanjangan di Timur Tengah memaksa sebagian warganya lari dan mencari suaka di negara lain. Di antara mereka mampir ke Indonesia untuk mencari dokumen suaka di Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi di Jakarta.

 AGUS DWI PRASETYO, Jakarta

MOHAMMAD Reza Qambari, 23, menyuruh rekannya, Amir Haidari, 15, dan Mustafa Alizada, 16, menunjukkan kertas sertifikat kepada salah seorang pria berpakaian formal Di hadapan pria itu, Reza menjelaskan tulisan dua bahasa (Inggris dan Indonesia) di sertifikat tersebut. Dia perlu bersuara keras karena banyak kendaraan berlalu lalang di Gang Jalan Kebon Sirih Barat I, tempat mereka bertemu.

Amir dan Alizada yang semula duduk bersandar tembok pagar di pinggir jalan itu lantas berdiri. Sambil menjinjing tas ransel, keduanya mendekati Reza dan mendengarkan perbincangan dalam bahasa Indonesia antara Reza dan pria yang belakangan diketahui petugas United Nation High Commissioner for Refugee (UNHCR) atau Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi Perwakilan Indonesia itu.

Sesekali Amir dan Alizada terlihat manggut-manggut. Tidak tahu, apakah mereka paham yang dibicarakan atau hanya pura-pura paham. Maklum, dua remaja itu bukan orang Indonesia, melainkan pencari suaka dari Afghanistan. Sudah sebulan mereka tinggal di Jakarta. Keduanya bersama lima rekannya sedang mengurus dokumen untuk mendapat status pengungsi (refugee) dari UNHCR.

‘”Mereka tidak bisa bahasa Inggris dan Indonesia,” ujar Reza sambil menunjuk Amir dan Alizada. Reza juga imigran asal Afghanistan yang tengah mengurus dokumen. Namun, dia bisa berbahasa Indonesia maupun Inggris meski terbatas.

Selama menunggu turunnya dokumen itu, para pencari suaka yang tidak ditampung UNHCR harus hidup mandiri. Misalnya, yang dilakukan Amir cs. Sejak sebulan lalu mereka terpaksa tidur di pinggir jalan sekitar kantor perwakilan UNHCR di Jakarta itu. Tepatnya di depan pintu belakang menara Ravindo sisi selatan. Mereka menggelar terpal ukuran 1 x 2 meter untuk alas. Bila hujan, mereka berteduh di lapak-lapak pedagang kaki lima (PKL) yang berjejer di sisi utara pintu itu.

Para pencari suaka tersebut tampak hati-hati dan waswas terhadap orang lain yang mengajaknya berkomunikasi. Contohnya, yang dialami Jawa Pos (Jabar Ekspres Group) saat menanyakan asal usul mereka. ”Mereka sebenarnya takut, jadi membatasi bergaul dengan orang yang belum dikenal,” tutur Reza, imigran yang paling gampang diajak berkomunikasi.

Tinggalkan Balasan