Mendekati kelulusan, ayah tiga anak tersebut baru bertekad penuh untuk hidup di jalur akademis. Gayung pun bersambut. Dia mendapat jalan untuk melanjutkan pendidikan dengan beasiswa pemerintah Malaysia di Universitas Pertanian Malaysia (UPM).
Di sana, Irwan terus mengembangkan keahliannya di bidang biokimia dan kimia pangan. Setelah bergelar master of science (MSc) pada 1996, Irwan langsung tancap gas mengambil program S-3 dengan gelar ganda dari Universitas British Columbia, Kanada, dan UPM Malaysia.
”Saat itu, saya banyak meneliti minyak kelapa sawit karena industrinya sedang bangkit. Nah, itu juga yang akhirnya membuat saya ingat masalah makanan halal,” ungkap.
Awal 2000-an memang jauh dari booming industri halal. Alhasil, banyak industri pangan yang belum melirik pasar sekaligus mengikuti standar makanan halal. Saat di Kanada pun, Irwan sempat tertipu saat membeli keripik kentang rasa barbeque. Namun, selidik punya selidik, ternyata saus barbeque itu mengandung babi. ”Saat itu susah menentukan mana makanan halal di sana (Kanada). Kalau kurang hati-hati, bisa kemakan,” jelasnya.
Setelah kembali dari Kanada dan menuntaskan studi S-3 di UPM, Irwan masuk menjadi staf akademis di IIUM pada 2001. Misinya cuma satu, menciptakan teknologi pangan bikinan sendiri untuk melacak zat nonhalal seperti lemak babi di makanan. ”Saya pakai dasar ilmu saya yang tahu soal minyak saat D-3 untuk membuat alat tersebut,” ungkapnya.
Penelitian yang dimulai sejak 2002 itu sukses melahirkan FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) yang mengantarkan Irwan mendapat berbagai penghargaan. Misalnya, medali emas dalam pergelaran Ekshibisi Penemuan, Teknik Baru, dan Produk Ke-34 di Jenewa, Swiss, 2006.
Sejak itu, pria yang saat ini tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia, tersebut tak berhenti melakukan riset. Hasilnya, sedikitnya 75 makalah riset ilmiah pernah dihasilkannya. Dia juga memperoleh setidaknya 60 penghargaan internasional. ”Saya bersama teman-teman juga membuat alat pendeteksi lemak babi dengan penciuman,” ujar dosen terbaik IIUM pada 2010 tersebut.
Namun, semua itu tidak berarti Irwan tidak lagi nasionalis. Dia tetap cinta Indonesia. Sampai saat ini, dia juga sering wira-wiri Malaysia-Indonesia. Selain mengajar sebagai dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, dia terus memotivasi para peneliti muda untuk terus berkarya. ”Saya ke acara ini sekalian menghadiri sidang mahasiswa S-3 Fakultas Farmasi Universitas Indonesia yang saya bimbing. Dia membuat penelitian soal produksi gelatin halal dari kulit kambing lokal untuk cangkang kapsul obat,” ungkapnya.