Dwi juga tidak henti-henti memotivasi para ilmuwan muda dalam negeri untuk berani berkiprah di kancah internasional. Menurut dia, di lingkup Asia, ilmuwan Indonesia masih kalah banyak jika dibandingkan dengan Tiongkok, Korea, dan India. Hal itu tidak lepas dari minimnya peneliti muda Indonesia yang berambisi untuk berkompetisi di luar negeri. Khususnya di Amerika.
Hanya, dia mengakui, mengajak ilmuwan Indonesia untuk total menjadi peneliti memang terbilang sulit. Sebagian besar, kata dia, telanjur enjoy di zona nyaman. Apalagi peneliti yang sudah berkeluarga dan memiliki penghasilan dari proyek yang dikembangkan.
”Kultur di Indonesia, ilmuwan itu masih dianggap gelar. Profesionalismenya masih kurang,” tutur ilmuwan senior di Department of Atmospheric and Oceanic Science University of Maryland itu.
Padahal, lanjut dia, persaingan antar peneliti di luar negeri sangat terbuka. Ilmuwan bisa mengikuti kompetisi yang diadakan lembaga penelitian internasional. Namun, dia mesti memiliki kredibilitas dan penelitian yang berkualitas. ”Memang sulit kalau kita sebagai peneliti sudah punya bisnis,” ujar alumnus ITB tersebut.
Untuk meyakinkan para peneliti Indonesia, Dwi tidak jarang berbagi pengalamannya menjadi peneliti di Negara Paman Sam. Menurut dia, beasiswa untuk menempuh studi lanjutan di Amerika sangat banyak. Tawaran itu bertebaran di berbagai website lembaga penyedia.
Bagi peneliti yang berat meninggalkan profesinya sebagai dosen, Dwi menyarankan untuk mengajar dengan menggunakan aplikasi Skype. Materi perkuliahan bisa diberikan melalui video call secara gratis di internet. Hal seperti itu dilakukan Dwi saat diminta mengajar mahasiswa Politeknik Sorong pada 2014.
”Sekarang semua mudah karena data satelit bisa diakses gratis,” ungkap pria yang sudah 27 tahun melanglang buana di Amerika tersebut.
Lain Dwi Susanto, lain pula Irwandi Jaswir, dosen dan peneliti di International Islamic University Malaysia (IIUM). Pria asal Bukittinggi, Sumatera Barat, itu tak pernah berhenti untuk meneliti dan menemukan inovasi baru di bidang teknologi pangan serta industri halal. Meski, dia mengaku baru mempunyai impian tersebut pada masa akhir kuliah.
”Sebelum kuliah, pikiran saya cuma cari universitas bagus yang memungkinkan untuk cepat dapat pekerjaan. Saya memilih teknologi pangan saat tingkat dua karena standar jurusan itu paling tinggi,” jelas alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) angkatan 1994 itu.