bandungekspres.co.id, Upaya pemerintahan Presiden Jokowi untuk memberantas pungli ternyata belum dilakukan secara maksimal di Kejaksaan Agung. Buktinya, dari semua lembaga, Kejagung yang paling minim mengungkap pungli, hanya dengan satu kasus pungli yang ditangani. Yakni, Jaksa Ahmad Fauzi yang memeras seorang pihak berperkara.
Bila, dibandingkan dengan kasus pungli yang diungkap Polri dengan 235 kasus dan 101 oknum yang terlibat tentu sangat timpang. Kasus pungli yang diungkap Polri di PT Pelindo, Bea Cukai dan Kementerian Perhubungan mencapai empat kasus.
Wakil Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Erna Ratnaningsih mengatakan, memang baru ada satu kasus pungli ditangani Satgas Saber Pungli Kejagung. Walau begitu, dilihat dari skala kasusnya sebenarnya cukup besar dengan barang bukti uang senilai Rp 1,5 miliar. ”Tapi, tetap perlu peningkatan,” paparnya.
Dia menurutkan, pengawasan perlu ditingkatkan untuk menangkap oknum-oknum yang merusak Kejagung dengan melakukan pungli. ”Perlu koordinasi dengan Kementerian yang lain juga,” paparnya.
Selain itu, masyarakat yang sedang berperkara hukum di Kejagung juga harus mengerti hak-haknya. Bila, ada oknum jaksa yang ternyata meminta-minta, bisa segera laporkan. ”Bisa ke Komjak dilaporkan atau ke Jaksa Agung Muda Pengawasan,” jelasnya.
Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu menilai sejauh ini belum ada institusi penegak hukum yang secure dari pungutan liar (pungli) dan perilaku korup lainnya. Kondisi itu pun semakin mencemari penegakkan hukum secara keseluruhan. ”Sebenarnya kita tidak ingin kondisi ini (penegakan hukum, Red) dicemari,” ujarnya kepada Jawa Pos.
Sampai saat ini, pengaduan dari masyarakat terkait kinerja jaksa terus meningkat. Hingga Juni 2016, Ombudsman menerima 58 laporan yang berkaitan dengan buruknya kinerja kejaksaan. Jumlah tersebut menunjukan tren peningkatan bila dibanding 2015, yakni sebanyak 92 kasus. ”Indikasinya memang meningkat, kami akan merilis lagi jumlah itu (pengaduan kinerja kejaksaan, Red),” jelasnya.
Ninik mengatakan, indikator belum maksimalnya reformasi birokrasi kejaksaan itu menunjukan belum berjalannya fungsi pengawasan internal lembaga bersangkutan. Bila tidak ada gebrakan, praktik culas yang melibatkan para jaksa akan terus terjadi sampai kapanpun. ”Lagi-lagi memang pengawas internal yang harus berjalan,” tegas mantan anggota komnas perempuan ini.