”Kita ini punya nilai budaya dan produk kreatif yang layak dikenal dunia. Tapi, tidak ada yang menyebarkan itu di negara-negara maju seperti Amerika,” ungkapnya.
Karena itulah, mulai tahun lalu, Mey mencari produk-produk kreatif yang bisa dikenalkan ke AS. Salah satunya produk sineas dalam negeri.
Dia lalu memilih karya-karya yang layak ikut dalam festival film internasional. Namun, upaya tersebut tidak mudah karena Mey tak kenal dengan kalangan sineas Indonesia. ”Saya sempat mencoba mendaftarkan film Indonesia untuk festival film di New York lewat kenalan saya. Tapi, tidak ada respons,” ungkapnya.
Baru pada 2016 Mey mendapat agenda festival film yang pas dengan misinya, yakni mengedukasi keberagaman masyarakat Asia. Festival yang dimaksud adalah Atlanta Asian Film Festival (AAFF). ”Selama ini festival itu tidak pernah diikuti sineas Indonesia. Yang biasanya masuk film dari Jepang dan Korea,” tuturnya.
Di sinilah akhirnya Mey bertemu dengan Arie Untung yang memproduseri film 3 pada 2015. Arie pun setuju menerima ajakan Mey untuk mengikuti AAFF 2016. Memang, selama ini Arie mengaku bahwa film aksi garapan sutradara Anggy Umbara itu sudah beberapa kali ikut festival film di luar negeri.
”Tapi, memang biasanya untuk mendaftar saja susah. Karena kadang-kadang e-mail dari kami tidak diterima atau sebaliknya,” kata Arie.
Karena itulah, dia bersyukur ada tawaran dari Mey yang bersedia membantunya mengikuti AAFF 2016. Sebab, festival film internasional punya peran penting dalam mengangkat martabat karya sineas Indonesia setara dengan karya film asing lainnya.
”The Raid bisa dihargai karena sebelum ditayangkan di Indonesia mereka masuk ke festival film asing,” tandas suami Fenita Jayanti itu. ”Doakan kami lancar semua.”
Mey masih memiliki satu impian lain yang juga akan dibawanya ke Negeri Paman Sam. Yakni, mengangkat makanan khas Indonesia. Menurut dia, kuliner Indonesia punya potensi menjadi makanan favorit internasional. Tidak kalah oleh makanan Thailand yang lebih dulu mendunia. ”Saya pernah menjual kerupuk dan nastar di sana. Laris manis. Banyak yang suka,” kenangnya.
Sayang, upaya membawa kuliner Indonesia di AS tidaklah mudah. Regulasi di AS mengenai penjualan makanan sangat ketat. ”Karena itu, sementara ini saya fokus membawa produk kreatif berupa kain tradisional dan film Indonesia lebih dulu. Makanannya belakangan,” tandas Mey. (*/c5/ari/rie)