Hari Anak Belum Terasa di Kabupaten Bandung

bandungekspres.co.id, SOREANG – Hari Anak Nasional yang diperingati tiap 23 Juli belum begitu dirasakan oleh sebagian anak-anak di Kabupaten Bandung. Sebab, masih banyak anak-anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah dan harus mengais rezeki dengan bekerja serabutan ataupun di pabrik.

Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sahabat Anak dan Remaja (SAHARA) Indonesia Agus Muhtar Sidik mengatakan, pekerja anak usia di bawah 18 tahun bisa dikatakan masih banyak di Kabupaten Bandung. Seperti yang biasa terlihat di beberapa pusat keramaian. Di antaranya di pasar dan Terminal Soreang, Banjaran, Ciwidey, Majalaya, Margahayu, Cileunyi dan di tempat-tempat keramaiannya di setiap kecamatan di Kabupaten Bandung dapat dengan mudah ditemukan beberapa anak-anak yang bekerja.

Baik itu sebagai pemulung, pengamen, kusir delman, ojek payung, kuli panggul dan lain sebagainya. Mereka jadi begitu, karena membantu ekonomi orang tuanya.

”Anak terpaksa bekerja membantu perekonomian keluarga. Sebab, mereka masih di bawah garis kemiskinan. Misalnya, bapaknya sebagai kuli bangunan atau kerja sebagai sopir angkutan umum, karena penghasilan pas-pasan, akhirnya semua anggota keluarga harus turun tangan membantu, termasuk anak-anak yang notabene belum layak bekerja,” papar Agus, kemarin (22/7).

Agus mengungkapkan, sebaran pekerja anak di Kabupaten Bandung bisa dikatakan cukup merata. Biasanya mereka berada di pusat-pusat keramaian di setiap kecamatan. Seperti di terminal, pasar atau pusat perbelanjaan. Mereka ini biasa melakukan pekerjaan-pekerjaan serabutan dan dilakukan ada yang selepas sekolah. Namun banyak juga para anak yang memang sudah putus sekolah.

”Kalau jumlah pasti saya tidak ada datanya. Tapi kira-kira antara 0,1 hingga 0,3 persen dari jumlah total anak di Kabupaten Bandung,” ungkapnya.

Dia mengatakan, dari kenyataan yang ada, pemerintah terkesan membantah fakta tersebut. ”Silakan saja turun langsung ke lapangan, benar tidak apa yang saya katakan ini,” ungkapnya lagi.

Menurut dia, keadaan seperti ini seharusnya diperhatikan sebaik mungkin oleh pemerintah daerah. Terutama dalam hal menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi warganya. Begitu juga dengan kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan.

”Kebijakan yang saya maksud yaitu, soal alih fungsi lahan. Misalnya yang dulunya bapaknya itu bekerja sebagai buruh tani, tapi karena sawahnya telah berubah jadi pabrik, kini menganggur atau memilih kerja serabutan di kota, sebagai tukang becak dan lainnya,” ucapnya.

Tinggalkan Balasan