Pemda Sumedang Bingung

bandungekspres.co.id, SUMEDANG – Hasil putusan PTUN Bandung mengenai limbah PT Kahatex, PT Five Star dan PT Insan Sandang yang mencabut izin pembuangan limbah cair, membuat empat perusahaan tekstil skala besar tersebut terancam bangkrut.

Menyikapi hal itu, Wakil Bupati Sumedang Eka Setiawan meminta masukan dan pandangan dari semua pihak atas dikabulkannya permohonan pihak penggugat melalui putusan sidang PTUN Bandung No. 178/G/2015/PTUN.BDG tentang  pencabutan izin limbah cair PT Kahatex, PT Five Star dan PT Insan Sandang.

”Pengadilan PTUN Bandung mengabulkan permohonan para penggugat yaitu WALHI dan Pewapeling tentang penundaan serta menyatakan batal dan mencabut izin pembuangan limbah cair ketiga perusahaan tersebut ke Sungai Cikijing. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya minta masukan dan tanggapan terutama dari pihak perusahaan terkait,” ujar wabup dalam diskusi bersama Forkopimda, belum lama ini.

Eka mengaku, mendapatkan informasi dari pihak Kahatex bahwa perusahaan tersebut telah mempunyai tiga instalasi IPAL.

Hal tersebut dibenarkan, kuasa hukum PT Kahatex Dwi Whidi. Dia mengatakan, PT Kahatex memiliki tiga instalasi IPAL masing-masing berkapasitas 3000 m3, 6000 m3 dan 24.000 m3. Total keseluruhan total instalasi 37.000 m3.

Sejak 2004 kami telah memiliki izin yang dikeluarkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II dan 2011 telah memiliki Amdal,” ungkap Dwi Widhi.

Widhi mengungkapkan, pihaknya (direksi Kahatex) saat ini sedang dipanggil ke kantor perwakilan para buyers di Jakarta.  ”Pihak buyers (terutama dari Jerman dan Hongkong) yang ada di 78 negara tersebut mempertanyakan kejelasan putusan pengadilan PTUN karena dipandang tidak jelas,” terangnya.

Hasil putusan tersebut dipandang tidak jelas, sambung Widhi, karena berdampak kepada para buyers. Apakah produksinya bisa lanjut atau terkait dengan pembuangan limbah saja.

”Jika sampai berhenti produksi, dapat dibayangkan selain para buyers akan mencabut semua order Kahatex, tapi karyawan kami yang berjumlah 36.000 pun terpaksa harus diberhentikan pula,” ujar Widhi.

Lebih lanjut Widhi menjelaskan bahwa untuk operasional IPAL saja dibutuhkan biaya antara Rp 7-8 miliar rupiah per bulan, dengan tingkat konsumsi listrik Rp 80-100 miliar per bulan. Dengan tingginya cost tersebut, akan berdampak terhadap pendapatan daerah terutama dampak sosial yang akan terjadi atas para pegawai pabrik.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan