Menyoal ASN di Pemerintah Kota Bandung, belakangan yang dikoordinasikan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), rata-rata lulusan sarjana ( S1).
ASN itu, masuk melalui seleksi dan diterima sebagai pejabat negara langsung ditetapkan masuk golongan 3A (CPNS), dengan gaji 80 persen tidak kurang dari Rp 2 juta untuk gaji pokok.
”Setelah satu tahun baru mendapatkan gaji 100 persen. Gaji yang diterima hampir Rp 3 juta per bulan,” jelas Edi.
Penyesuaikan melaui jenjang pendidikan lebih tinggi, melalui sekolah lagi guna menyelesaikan S2, kebanyakan digunakan untuk mendapatkan jabatan struktural. ”Biasanya penyesuaian di eselon tiga,” ujar Edi.
Memperhatikan komposisi ASN Pemerintah Kota Bandung, dalam penilaian Edi, sebaiknya tidak ada pengangkatan ASN baru.
Menyalurkan dan mengangkat sumber daya manusia (SDM) yang ada. Terutama, pegawai honor daerah atau relawan, merupakan langkah positif. Jumlah mereka cukup memadai untuk pegawai administrasi. Sehingga, mengentaskan pegawai non ASN, kemudian mengangkat ASN baru sesuai pormasi, tidak akan melanggar aturan.
Kacuali seleksi formasi ASN sesuai yang dibutuhkan dan diamanatkan pemerintah pusat. ”Kebutuhan ASN itu, biasanya sesuai keahlian (guru dan tenaga medis),” sebut Edi.
Menurut dia, konsekuensi penganggkatan pegawai honorer, beri kepastian atas pengabdian yang rata-rata sudah bekerja di atas sepuluh tahun. Di samping meminamalisir masalah dapat pula mengurangi beban APBD hibah.
Melihat jumlah ASN Pemerintah Kota Bandung, saat ini sekitar 20 ribu orang, serta dengan realisasi penarikan guru SMA/SMK ke provinsi Jawa Barat, otomatis jumlah ASN semakin berkurang.
Dengan demikian, meski ada pengurangan tetapi tidak perlu ada penambahan. Sebab, selain beban APBD Kota Bandung, berkurang tata kelola ASN lebih terkontrol. ”Tidak perlu pula pengangkatan Guru. ASN keahlian khusus berbeda dengan pegawai administrasi,” pungkas Edi Haryadi. (sam/chi/jpnn/edi/rie)