Harry Sunogo tentang Industri Berbasis Konsumsi
Konsumsi rumah tangga selalu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Terutama industri makanan menjadi salah satu penopang.
—
HARRY Sunogo, presiden direktur PT Sekar Laut Tbk, menganggap faktor demografi mampu menjadi penopang naiknya permintaan di industri makanan. Khusus untuk industri makanan kemasan siap saji, tren gaya hidup juga menjadi pendongrak permintaan.
”Saat ini orang menjadi semakin sibuk. Suami istri kerja. Belum lagi sekarang juga sudah mulai banyak yang tinggal di apartemen. Mereka lebih memilih yang instan,” katanya.
Dia melanjutkan, mayoritas industri makanan di Indonesia pun menggunakan bahan baku lokal. Pangsa pasar produk makanan lokal masih dominan dan mampu bersaing di pasar global saat menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Itu juga ditunjang cita rasa orang Indonesia yang tetap menyukai makanan lokal. Kemasan makanan produksi dalam negeri juga tidak kalah bersaing dengan negara lain.
Selama ini makanan impor hanya tersebar di kota. Itu pun juga lebih disebabkan gaya hidup. Saat ini, kata Harry, yang terpenting adalah mendorong industrialisasi pertanian. Adanya bahan makanan pokok yang masih impor, kata dia, lebih disebabkan rendahnya riset dan pengembangan di bidang pangan. Juga, karena penggunaan teknologi yang terbatas. ”Padahal, teknologi bisa meningkatkan produktivitas,” paparnya. Menurut dia, industrialisasi untuk sektor pertanian harus dilakukan.
”Dengan penggunaan bibit unggul serta peralatan pertanian yang canggih, produktivitas bisa bertambah,” katanya. Dia mengatakan, secara iklim pun, Indonesia punya keunggulan untuk bisa mengembangkan beberapa komoditas seperti udang, singkong, dan tebu. Khusus komoditas udang, Indonesia punya garis pantai yang panjang sehingga bisa digunakan untuk budi daya komoditas tersebut.
Di sisi lain, Harry mengatakan bahwa Indonesia masih memiliki kelemahan di sektor infrastruktur. Kendala di infrastruktur itulah yang membuat biaya logistik di Indonesia termasuk tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.
”Kami mengirim barang ke Sulawesi dan Singapura. Biayanya lebih mahal ke Sulawesi daripada Singapura,” katanya. Selama ini, kata dia, masih banyak potensi bahan baku yang berada di daerah, tapi belum bisa dimaksimalkan untuk industri. Salah satu sebabnya adalah faktor infrastruktur. Indonesia yang kaya akan komoditas seperti sektor pertanian dan perkebunan harus diberi nilai tambah dengan diolah menjadi industri.